Menurut Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah خفظه الله
Tidak boleh menghukumi seorang ulama Ahlus Sunnah bahwa dia adalah mubtadi' atau keluar dari Ahlus Sunnah dengan sebab suatu kesalahan dalam ijtihad, sama saja apakah ijtihad tersebut di dalam masalah-masalah aqidah atau dalam masalah-masalah halal dan haram yang banyak diperselisihkan oleh para ulama Ahlus Sunnah. Hal ini karena dia bermaksud menepati kebenaran, dan itulah yang dia fahami sesuai dengan ijtihadnya. Maka dia berudzur dalam hal itu, bahkan dia diberi pahala atas ijtihadnya. Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Jika seorang hakim berijtihad memutuskan perkara kemudian benar maka dia mendapat dua pahala. Dan jika dia berijtihad memutuskan perkara kemudian keliru maka dia mendapat satu pahala.” (HR. Bukhari 6/2676, Muslim 3/1342)
Permasalahan ini adalah salah satu dari perkara-perkara yang disepakati oleh para ulama, tidak adayang menyelisihinya kecuali ahlul bida' dari Kha-warij dan Mu'tazilah, atau orang awam yang terpengaruh pemikiran mereka.
Nash-nash dari Kitab dan Sunnah serta perkataan salaful ummah menunjukkan bahwa seorang muslim diberi udzur jika seorang keliru tanpa dia sengaja, apabila dia bermaksud mengikuti kebenaran, sebagaimana Alloh عزّوجلّ, berfirman menghikayatkan perkataan orang-orang yang beriman:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau keliru. (QS. al-Baqarah [2]: 286), di dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasanya Alloh berfirman setelah itu, "Sungguh telah Aku lakukan." (HR. Muslim I/116)
Alloh عزّوجلّ juga berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. (QS. al-A'raf [7]: 42)
Adapun nash-nash dari Sunnah, di antaranya ialah sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم, "Bahwasanya ada seorang yang berwasiat kepada keluarganya sebelum dia wafat, 'Jika aku mati, kumpulkanlah kayu bakar yang banyak untuk membakarku. Jika api tersebut telah membakar dagingku hingga tampak tulangnya, maka ambillah dan tumbuklah kemudian taburkanlah di lautan di hari yang banyak anginnya.' Maka Alloh membangkitkannya dan menanyai orang tersebut, 'Kenapa engkau lakukan itu?' Orang tersebut menjawab, 'Karena takut kepada-Mu.' Maka Alloh mengampuninya." (HR. Bukhari, 6/514)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Laki-laki ini syak (ragu) terhadap qudrah Alloh Ta'ala dan syak terhadap kemampuan Alloh membangkitkannya jika tubuhnya telah menjadi debu, bahkan meyakini bahwa dia tidak dibangkitkan. Ini adalah kekufuran dengan kesepakatan kaum muslimin, tetapi karena dia jahil (bodoh) tidak mengetahui hal itu dan beriman serta takut kepada hukuman Alloh, maka Alloh mengampuninya dengan keimanannya itu." (Majmu' Fatawa 3/231)
Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa Alloh memberikan udzur pada suatu kesalahan dengan sebab kejahilan (ketidaktahuan) betapapun besar kesalahan tersebut dan meskipun berhubungan dengan masalah aqidah seperti mengingkari qudrah Alloh untuk membangkitkan manusia. Jika saja Alloh memberikan udzur atas kesalahan yang begitu besar, maka para ulama Ahlus Sunnah lebih berhak mendapatkan udzur jika mereka keliru dalam ijtihad.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Jika telah tsabit dengan Kitabullah bahwasanya Alloh telah mengampuni umat ini dalam hal kekeliruan yang tidak disengaja dan kelupaan maka ini berlaku secara umum. Dan tidaklah di dalam dalil-dalil syar'i yang mengharuskan bahwa Alloh mengadzab umat ini yang berbuat kesalahan dengan tidak disengaja ... dan juga sesungguhnya para ulama salaf banyak yang terjatuh dalam berbagai kesalahan dalam banyak permasalahan dan mereka sepakat tidak mengkafirkan seorang pun dengan sebab kesalahan-kesalahan tersebut, seperti sebagian sahabat yang mengingkari bahwa mayit bisa mendengar seruan orang yang hidup, dan sebagian mereka mengingkari terjadinya mi'raj dalam keadaan jaga. (Majmu' Fatawa 12/490, 492)
Dari sini, wajiblah atas kita semua bersikap hati-hati terhadap para ulama dan thullabul ilmi yang dikenal dengan kelurusan aqidah dan manhaj, tidak mudah mengeluarkan mereka dari Ahlus Sunnah dengan sebab kesalahan dalam ijtihad selama ijtihad mereka dalam batas-batas yang bisa diterima secara syar'i.
Barangsiapa begitu mudah mengeluarkan seorang ulama dari lingkup Ahlus Sunnah dengan sebab kesalahan dalam ijtihad, sungguh dia telah menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah dalam hal ini dan terjatuh dalam cara-cara ahli bid'ah secara sadar ataupun tidak sadar, karena ahli bid'ah begitu mudah menyalahkan bahkan mengkafirkan setiap orang yang menyelisihi mereka.
Kehati-hatian dalam masalah ini bukan berarti membiarkan adanya kesalahan dan tidak saling memberi nasihat. Karena menjelaskan al-haq merupakan tugas para ahli ilmu yang telah Alloh tekankan di dalam firman-Nya:
وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ
“Dan (ingatlah), ketika Alloh mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." (QS. Ali Imran [3]: 187)
Hanya saja, penjelasan terhadap adanya suatu kesalahan hendaknya dilakukan oleh seorang yang mumpuni keilmuannya, dan hendaknya dia melakukan hal itu semata-mata mengharap keridhaan Alloh dan menjelaskan al-haq, juga hendaknya dia berusaha menghormati orang yang dia bantah serta memusatkan perhatian pada perkataannya bukan pada person (orang) nya.[1]
--------------------------------------------------------------------------------
1. Pembahasan ini disarikan dari kitab Mauqif Ahlus Sunnah min Ahlil Ahwa' wal Bida' oleh Syaikh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili (hal. 29-72)
Post a Comment