Blog arsip serta Bermacam macam dokumen Pribadi dan Pekerjaan Vivia

Bai'at SUNNAH dan Bai'at BID'AH

Nama eBook: Bai’at Sunnah dan Bai’at Bid’ah
Penyusun: Ustadz Aris Munandar حفظه الله

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

عَنْ نَافِعٍ قَالَ جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُطِيعٍ حِينَ كَانَ مِنْ أَمْرِ الْحَرَّةِ مَا كَانَ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ فَقَالَ اطْرَحُوا لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً فَقَالَ إِنِّي لَـمْ آتِكَ لِأَجْلِسَ أَتَيْتُكَ لِأُحَدِّثَكَ حَدِيثًا سَـمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ سَـمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Dari Nafi' dia berkata: Abdullah ibn Umar رضي الله عنهما mendatangi Abdullah ibn Muthi' (kepala pemberontakan penduduk Madinah terhadap Yazid ibn Mu'awiyah, khalifah saat itu) sebelum Tragedi Harrah di masa pemerintahan Yazid ibn Mu'awiyah. Abdullah ibn Muthi' mengatakan kepada pembantunya: "Berikan bantal duduk kepada Abu Abdirrahman, Ibnu Umar." Ibnu Umar رضي الله عنهما mengatakan: "Aku tidaklah datang untuk duduk-duduk. Aku datang untuk menyampaikan sebuah hadits yang kudengar dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: 'Siapa yang melepaskan ikatan ketaatan kepada penguasa, dia akan berjumpa Allah dalam keadaan tidak memiliki alasan pembela. Siapa saja yang meninggal dunia dalam keadaan tidak ada ikatan bai'at di lehernya maka dia mati sebagaimana kematian orang jahiliyyah.'" (HR Muslim No. 4899)

PEMAHAMAN BENAR
Dalam bahasa Arab, bai'at memiliki makna ma'aqadah dan mu'ahadah 'ikatan' dan 'perjanjian'. Bai'at disebut bai'at karena orang yang berbai'at itu seakan-akan menjual apa yang dia miliki kepada kawannya dan memberikan ketaatan dan relung hatinya kepada sasaran bai'at. Demikian penjelasan Ibnu Manzhur dalam Lisanul 'Arab 8/26.
Sementara itu, secara istilah, bai'at adalah janji untuk taat. Seakan-akan seorang yang berbai'at itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan keputusan mengenai urusan pribadinya dan urusan kaum muslimin kepadanya. Dia tidak akan membangkang dalam semua keputusan pimpinannya dan siap untuk taat kepada pimpinan dalam semua tugas yang dibebankan kepadanya baik manakala dia dalam kondisi semangat atau pun tidak.
Dahulu, jika seorang berbai'at kepada penguasa, dia letakkan tangannya di tangan sang penguasa dalam rangka menegaskan perjanjian yang dibuat. Perbuatan ini mirip dengan perbuatan penjual dan pembeli. Oleh karena itu, bai'at disebut bai'at mashdar dari kata kerja ba'a yang bermakna transaksi jual beli.
Secara syari'at dan 'urf— kebiasaan kaum muslimin dari masa ke masa—bai'at hanya ditujukan kepada pemimpin kaum muslimin dan khalifah. Pada dasarnya, bai'at itu hanya terjadi setelah musyawarah dengan mayoritas kaum muslimin dan setelah ahlul halli wal 'aqdi (para ulama' dan cendikiawan) menjatuhkan pilihan mengenai orang yang layak menjadi penguasa. Bai'at yang dilakukan oleh selain ahlul halli wal 'aqdi tidaklah teranggap kecuali setelah ahlul halli wal 'aqdi berbai'at terlebih dahulu.
Dari berbagai dalil syari'at bisa disimpulkan bahwa bai'at yang menjadi kewajiban seorang muslim adalah bai'at kepada penguasa muslim. Kewajiban ini jika tidak dilaksanakan padahal mampu melaksanakannya berefek dosa. Akan tetapi, jika tidak ada kemampuan atau syarat-syarat bai'at tidak terpenuhi maka tidak ada dosa.
Setelah al-Imam Ahmad membawakan hadits "Siapa saja yang meninggal dunia dalam keadaan tidak memiliki imam maka dia mati sebagaimana kematian orang jahiliyyah", Ishaq ibn Hani' bertanya: 'Apa makna hadits tersebut?" Jawaban al-Imam Ahmad: "Tahukah engkau siapa itu imam? Imam adalah orang yang seluruh kaum muslimin (di suatu negeri, Pen.) sepakat mengatakan bahwa dialah sang penguasa negeri tersebut. Itulah maknanya." (Masa'il Ibnu Hani' No. 2011)
Al-Kasymiri رحمه الله dalam Faidhul Bari 4/59 berkata: "Ketahuilah bahwa hadits di atas menunjukkan bahwa yang menjadi tolok ukur adalah mayoritas kaum muslimin (di suatu negeri, Pen.). Andai ada satu, dua, atau tiga orang membai'at seseorang se-bagai penguasa maka dia bukanlah imam sampai dibai'at oleh mayoritas kaum muslimin atau dibai'at oleh ahlul halli wal 'aqdi."
Ibnu Abidin رحمه الله ditanya mengenai seorang sufi yang berbai'at kepada seorang guru tarekat kemudian dia lebih memilih guru tarekat yang lain dan berbai'at kepadanya. Apakah bai'at yang mengikat itu bai'at pertama ataukah kedua? Jawaban beliau: "Bai'at pertama dan kedua tidaklah bersifat mengikat. Bai'at semacam itu tidak memiliki dasar." (Tanqih al-Fatawa al-Hamidiyyah 2/334)
Mahmud Khathab as-Subki رحمه الله mengatakan: "Mutashawwif, orang-orang yang mengaku sebagai sufi di zaman ini, meletakkan tangannya di tangan sejumlah laki-laki dan wanita untuk mengambil perjanjian (baca: bai'at) agar mereka menjadi muridnya dan dia menjadi guru tarekat bagi mereka. Dampaknya, terkadang sang guru ikut memiliki harta murid-muridnya, dengan bebas makan di rumah muridnya, dan terkadang para murid berke-wajiban setor harta pada waktu-waktu tertentu seakan-akan pajak yang diambil secara paksa. Ini semua adalah kejahatan dan pengrusakan yang keluar dari batasan syari'at dan tidak diterima oleh akal sehat."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: "Tidak boleh bagi siapa pun dari para pengajar ilmu agama (baca: syaikh atau ustadz) untuk mengambil perjanjian (baca: bai'at) dari siapa pun untuk mengiyakan semua keinginannya, loyal dengan semua orang yang disukai sang guru, dan memu-suhi semua orang yang tidak disukai sang guru. Orang yang melakukan hal semisal ini sejenis Jenghis Khan dan lainnya yang menjadikan semua orang yang sejalan dengannya sebagai kawan dan orang dekat dan semua orang yang tidak sepaham dengannya sebagai musuh. Ada perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya yang mengikat sang guru dan para pengikutnya yaitu perjanjian untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya dan mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah." (Majmu' Fatawa 28/16)
Pengingkaran terhadap ikatan bai'at yang mengada-ada telah dilakukan oleh ulama' masa tabi'in yaitu Mutharrif ibn Abdullah asy-Syikhkhir رحمه الله.
Dari Mutharrif dia berkata: Kami sering mendatangi rumah Zaid ibn Shauhan. Di antara hal yang sering dia sampaikan adalah: "Wahai hamba-hamba Allah, lakukanlah perbuatan yang mulia dan indah. Sarana yang mengantarkan hamba kepada Allah hanyalah dua hal yaitu rasa takut dan harap."
Pada suatu hari kami ke rumah Zaid dan dia telah menulis sebuah tulisan dan merangkai kalimat-kalimat kurang lebih sebagaimana berikut ini: "Sungguh Allah adalah Rabb kami. Muhammad itu nabi kami. Al-Qur'an itu imam kami. Siapa saja yang bersama kami maka kami akan mendukungnya. Siapa yang menyelisihi kami maka kami bersatupadu untuk menghadapinya dan kami akan demikian dan demikian." Lembaran tersebut dia sodorkan kepada semua yang hadir satu demi satu. Setiap kali menyodorkan, Zaid mengatakan: "Apakah engkau sepakat, wahai fulan?" Saat giliranku, Zaid bertanya: "Apakah engkau sepakat, wahai anak muda?" "Tidak," tegasku. Zaid mengatakan: "Wahai anak muda, jangan tergesa-gesa mengambil keputusan. Apa komentar anda, wahai anak muda?"
Kukatakan: "Sungguh Allah telah mengambil perjanjian dariku dalam kitab-Nya. Oleh karena itu, aku tidak akan mengadakan perjanjian baru selain perjanjian yang telah Allah ambil dariku." Mendengar penjelasan tersebut semua orang yang hadir menarik kembali pernyataannya. Qatadah bertanya kepada Mutharrif: "Berapa jumlah kalian ketika itu?" "Kurang lebih 30 orang," kata Mutharrif. (Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya' 2/204 dan adz-Dzahabi dalam Siyar A'lamin Nubala' 4/192 dengan sanad yang shahih sampai Mutharrif)
Walhasil, bai'at dalam pengertian memberikan janji kepada pemimpin untuk mendengar dan taat dalam kondisi apa pun, tidak membangkang dan menyerahkan segala urusan kepadanya, hanya boleh ditujukan kepada penguasa muslim.

PEMAHAMAN YANG SALAH
Banyak  gerakan  dakwah  yang  sering  membawakan   hadits-hadits   mengenai bai'at kepada anggotanya unruk meyakinkan pentingnya bergabung dengan kelompoknya. Setelah itu, muncul keyakinan bahwa semua orang yang di lehernya tidak memiliki ikatan bai'at dengan gerakan dan kelompoknya adalah orang-orang yang berdosa dan dikhawatirkan mati sebagaimana kematian orang Arab jahiliyyah. Ini adalah bentuk salah faham terhadap makna hadits di atas karena bai'at yang wajib hanyalah bai'at kepada pemimpin kaum muslimin di suatu negeri. Jika tidak ada penguasa muslim maka ancaman yang ada dalam hadits di atas tidak berlaku. Dalilnya adalah arahan Nabi صلى الله عليه وسلم kepada Hudzaifah رضي الله عنه ketika tidak ada imam agar menyingkir dari semua kelompok yang ada. Beranikah kita katakan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم mengarahkan Hudzaifah رضي الله عنه agar mati dalam kondisi mati jahiliyyah?! Tentu saja kita tidak akan mengatakan demikian. Dengan ini jelaslah kesalahfahaman orang yang beralasan dengan hadits di atas untuk mewajibkan orang lain agar berbai'at kepada imam kelompoknya.
Mengenai bai'at yang ada dalam dunia tarekat shufiyyah, al-Alusi menegaskan bahwa hal tersebut adalah amalan yang tidak berdalil. Beliau berkata: "Orang-orang sufi mengatakan perlunya rabithah 'pengikat' (baca: bai'at kepada guru tarekat) agar hati siap menerima curahan ghaib dengan keberkahan rabithah tersebut. Aku tidak mengetahui adanya dalil dari Nabi صلى الله عليه وسلم tidak pula dari Khulafa'ur Rasyidin yang menjadi landasan hal tersebut. Semua yang disebutkan oleh sufi dan mereka nilai sebagai dalil tidaklah lepas dari kritik. Bahkan pegangan mereka yang paling maksimal hanyalah serupa dengan berpegangan dengan tali rembulan. Andai bukan karena khawatir terlalu panjang lebar alasan-alasan tersebut, akan aku sebutkan plus kritikannya." (Tafsir al-Alusi untuk Surat al-Jumu'ah 21/18) []
Labels:

Post a Comment

MKRdezign

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget