Blog arsip serta Bermacam macam dokumen Pribadi dan Pekerjaan Vivia

06/12/14

6:09:00 PM
Nama eBook: Bai’at Sunnah dan Bai’at Bid’ah
Penyusun: Ustadz Aris Munandar حفظه الله

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

عَنْ نَافِعٍ قَالَ جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُطِيعٍ حِينَ كَانَ مِنْ أَمْرِ الْحَرَّةِ مَا كَانَ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ فَقَالَ اطْرَحُوا لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً فَقَالَ إِنِّي لَـمْ آتِكَ لِأَجْلِسَ أَتَيْتُكَ لِأُحَدِّثَكَ حَدِيثًا سَـمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ سَـمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Dari Nafi' dia berkata: Abdullah ibn Umar رضي الله عنهما mendatangi Abdullah ibn Muthi' (kepala pemberontakan penduduk Madinah terhadap Yazid ibn Mu'awiyah, khalifah saat itu) sebelum Tragedi Harrah di masa pemerintahan Yazid ibn Mu'awiyah. Abdullah ibn Muthi' mengatakan kepada pembantunya: "Berikan bantal duduk kepada Abu Abdirrahman, Ibnu Umar." Ibnu Umar رضي الله عنهما mengatakan: "Aku tidaklah datang untuk duduk-duduk. Aku datang untuk menyampaikan sebuah hadits yang kudengar dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: 'Siapa yang melepaskan ikatan ketaatan kepada penguasa, dia akan berjumpa Allah dalam keadaan tidak memiliki alasan pembela. Siapa saja yang meninggal dunia dalam keadaan tidak ada ikatan bai'at di lehernya maka dia mati sebagaimana kematian orang jahiliyyah.'" (HR Muslim No. 4899)

PEMAHAMAN BENAR
Dalam bahasa Arab, bai'at memiliki makna ma'aqadah dan mu'ahadah 'ikatan' dan 'perjanjian'. Bai'at disebut bai'at karena orang yang berbai'at itu seakan-akan menjual apa yang dia miliki kepada kawannya dan memberikan ketaatan dan relung hatinya kepada sasaran bai'at. Demikian penjelasan Ibnu Manzhur dalam Lisanul 'Arab 8/26.
Sementara itu, secara istilah, bai'at adalah janji untuk taat. Seakan-akan seorang yang berbai'at itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan keputusan mengenai urusan pribadinya dan urusan kaum muslimin kepadanya. Dia tidak akan membangkang dalam semua keputusan pimpinannya dan siap untuk taat kepada pimpinan dalam semua tugas yang dibebankan kepadanya baik manakala dia dalam kondisi semangat atau pun tidak.
Dahulu, jika seorang berbai'at kepada penguasa, dia letakkan tangannya di tangan sang penguasa dalam rangka menegaskan perjanjian yang dibuat. Perbuatan ini mirip dengan perbuatan penjual dan pembeli. Oleh karena itu, bai'at disebut bai'at mashdar dari kata kerja ba'a yang bermakna transaksi jual beli.
Secara syari'at dan 'urf— kebiasaan kaum muslimin dari masa ke masa—bai'at hanya ditujukan kepada pemimpin kaum muslimin dan khalifah. Pada dasarnya, bai'at itu hanya terjadi setelah musyawarah dengan mayoritas kaum muslimin dan setelah ahlul halli wal 'aqdi (para ulama' dan cendikiawan) menjatuhkan pilihan mengenai orang yang layak menjadi penguasa. Bai'at yang dilakukan oleh selain ahlul halli wal 'aqdi tidaklah teranggap kecuali setelah ahlul halli wal 'aqdi berbai'at terlebih dahulu.
Dari berbagai dalil syari'at bisa disimpulkan bahwa bai'at yang menjadi kewajiban seorang muslim adalah bai'at kepada penguasa muslim. Kewajiban ini jika tidak dilaksanakan padahal mampu melaksanakannya berefek dosa. Akan tetapi, jika tidak ada kemampuan atau syarat-syarat bai'at tidak terpenuhi maka tidak ada dosa.
Setelah al-Imam Ahmad membawakan hadits "Siapa saja yang meninggal dunia dalam keadaan tidak memiliki imam maka dia mati sebagaimana kematian orang jahiliyyah", Ishaq ibn Hani' bertanya: 'Apa makna hadits tersebut?" Jawaban al-Imam Ahmad: "Tahukah engkau siapa itu imam? Imam adalah orang yang seluruh kaum muslimin (di suatu negeri, Pen.) sepakat mengatakan bahwa dialah sang penguasa negeri tersebut. Itulah maknanya." (Masa'il Ibnu Hani' No. 2011)
Al-Kasymiri رحمه الله dalam Faidhul Bari 4/59 berkata: "Ketahuilah bahwa hadits di atas menunjukkan bahwa yang menjadi tolok ukur adalah mayoritas kaum muslimin (di suatu negeri, Pen.). Andai ada satu, dua, atau tiga orang membai'at seseorang se-bagai penguasa maka dia bukanlah imam sampai dibai'at oleh mayoritas kaum muslimin atau dibai'at oleh ahlul halli wal 'aqdi."
Ibnu Abidin رحمه الله ditanya mengenai seorang sufi yang berbai'at kepada seorang guru tarekat kemudian dia lebih memilih guru tarekat yang lain dan berbai'at kepadanya. Apakah bai'at yang mengikat itu bai'at pertama ataukah kedua? Jawaban beliau: "Bai'at pertama dan kedua tidaklah bersifat mengikat. Bai'at semacam itu tidak memiliki dasar." (Tanqih al-Fatawa al-Hamidiyyah 2/334)
Mahmud Khathab as-Subki رحمه الله mengatakan: "Mutashawwif, orang-orang yang mengaku sebagai sufi di zaman ini, meletakkan tangannya di tangan sejumlah laki-laki dan wanita untuk mengambil perjanjian (baca: bai'at) agar mereka menjadi muridnya dan dia menjadi guru tarekat bagi mereka. Dampaknya, terkadang sang guru ikut memiliki harta murid-muridnya, dengan bebas makan di rumah muridnya, dan terkadang para murid berke-wajiban setor harta pada waktu-waktu tertentu seakan-akan pajak yang diambil secara paksa. Ini semua adalah kejahatan dan pengrusakan yang keluar dari batasan syari'at dan tidak diterima oleh akal sehat."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: "Tidak boleh bagi siapa pun dari para pengajar ilmu agama (baca: syaikh atau ustadz) untuk mengambil perjanjian (baca: bai'at) dari siapa pun untuk mengiyakan semua keinginannya, loyal dengan semua orang yang disukai sang guru, dan memu-suhi semua orang yang tidak disukai sang guru. Orang yang melakukan hal semisal ini sejenis Jenghis Khan dan lainnya yang menjadikan semua orang yang sejalan dengannya sebagai kawan dan orang dekat dan semua orang yang tidak sepaham dengannya sebagai musuh. Ada perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya yang mengikat sang guru dan para pengikutnya yaitu perjanjian untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya dan mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah." (Majmu' Fatawa 28/16)
Pengingkaran terhadap ikatan bai'at yang mengada-ada telah dilakukan oleh ulama' masa tabi'in yaitu Mutharrif ibn Abdullah asy-Syikhkhir رحمه الله.
Dari Mutharrif dia berkata: Kami sering mendatangi rumah Zaid ibn Shauhan. Di antara hal yang sering dia sampaikan adalah: "Wahai hamba-hamba Allah, lakukanlah perbuatan yang mulia dan indah. Sarana yang mengantarkan hamba kepada Allah hanyalah dua hal yaitu rasa takut dan harap."
Pada suatu hari kami ke rumah Zaid dan dia telah menulis sebuah tulisan dan merangkai kalimat-kalimat kurang lebih sebagaimana berikut ini: "Sungguh Allah adalah Rabb kami. Muhammad itu nabi kami. Al-Qur'an itu imam kami. Siapa saja yang bersama kami maka kami akan mendukungnya. Siapa yang menyelisihi kami maka kami bersatupadu untuk menghadapinya dan kami akan demikian dan demikian." Lembaran tersebut dia sodorkan kepada semua yang hadir satu demi satu. Setiap kali menyodorkan, Zaid mengatakan: "Apakah engkau sepakat, wahai fulan?" Saat giliranku, Zaid bertanya: "Apakah engkau sepakat, wahai anak muda?" "Tidak," tegasku. Zaid mengatakan: "Wahai anak muda, jangan tergesa-gesa mengambil keputusan. Apa komentar anda, wahai anak muda?"
Kukatakan: "Sungguh Allah telah mengambil perjanjian dariku dalam kitab-Nya. Oleh karena itu, aku tidak akan mengadakan perjanjian baru selain perjanjian yang telah Allah ambil dariku." Mendengar penjelasan tersebut semua orang yang hadir menarik kembali pernyataannya. Qatadah bertanya kepada Mutharrif: "Berapa jumlah kalian ketika itu?" "Kurang lebih 30 orang," kata Mutharrif. (Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya' 2/204 dan adz-Dzahabi dalam Siyar A'lamin Nubala' 4/192 dengan sanad yang shahih sampai Mutharrif)
Walhasil, bai'at dalam pengertian memberikan janji kepada pemimpin untuk mendengar dan taat dalam kondisi apa pun, tidak membangkang dan menyerahkan segala urusan kepadanya, hanya boleh ditujukan kepada penguasa muslim.

PEMAHAMAN YANG SALAH
Banyak  gerakan  dakwah  yang  sering  membawakan   hadits-hadits   mengenai bai'at kepada anggotanya unruk meyakinkan pentingnya bergabung dengan kelompoknya. Setelah itu, muncul keyakinan bahwa semua orang yang di lehernya tidak memiliki ikatan bai'at dengan gerakan dan kelompoknya adalah orang-orang yang berdosa dan dikhawatirkan mati sebagaimana kematian orang Arab jahiliyyah. Ini adalah bentuk salah faham terhadap makna hadits di atas karena bai'at yang wajib hanyalah bai'at kepada pemimpin kaum muslimin di suatu negeri. Jika tidak ada penguasa muslim maka ancaman yang ada dalam hadits di atas tidak berlaku. Dalilnya adalah arahan Nabi صلى الله عليه وسلم kepada Hudzaifah رضي الله عنه ketika tidak ada imam agar menyingkir dari semua kelompok yang ada. Beranikah kita katakan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم mengarahkan Hudzaifah رضي الله عنه agar mati dalam kondisi mati jahiliyyah?! Tentu saja kita tidak akan mengatakan demikian. Dengan ini jelaslah kesalahfahaman orang yang beralasan dengan hadits di atas untuk mewajibkan orang lain agar berbai'at kepada imam kelompoknya.
Mengenai bai'at yang ada dalam dunia tarekat shufiyyah, al-Alusi menegaskan bahwa hal tersebut adalah amalan yang tidak berdalil. Beliau berkata: "Orang-orang sufi mengatakan perlunya rabithah 'pengikat' (baca: bai'at kepada guru tarekat) agar hati siap menerima curahan ghaib dengan keberkahan rabithah tersebut. Aku tidak mengetahui adanya dalil dari Nabi صلى الله عليه وسلم tidak pula dari Khulafa'ur Rasyidin yang menjadi landasan hal tersebut. Semua yang disebutkan oleh sufi dan mereka nilai sebagai dalil tidaklah lepas dari kritik. Bahkan pegangan mereka yang paling maksimal hanyalah serupa dengan berpegangan dengan tali rembulan. Andai bukan karena khawatir terlalu panjang lebar alasan-alasan tersebut, akan aku sebutkan plus kritikannya." (Tafsir al-Alusi untuk Surat al-Jumu'ah 21/18) []

5:39:00 PM
Menurut Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah خفظه الله 

Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan apa yang disepakati oleh as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Yang keluar dari definisi Ahlus Sunnah adalah setiap ahli bid'ah dan ahwa’ yang menyeleweng dari Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan apa yang disepakati oleh as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka.

Tidaklah seorang benar-benar dikatakan Ahlus Sunnah sehingga dia berlepas diri dari semua ahli bid'ah dan pemikiran-pemikiran mereka.

Ahlus Sunnah memiliki karakteristik yang berbeda dengan ahli bid'ah dari segi penamaan, bahwasanya Ahlus Sunnah tidak memiliki nama dan julukan kecuali Islam dan dilalah (signifikasi)nya.

Ahlus Sunnah tidak pernah menisbatkan diri kepada seorang pun dan tidak menjadikan suri tauladan dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah صلي الله عليه وسلم.

Ketika muncul berbagai kelompok bid'ah dan kesesatan, maka Ahlus Sunnah perlu memiliki nama-nama yang membedakan mereka dari kelompok-kelompok sesat ini Sehingga muncullah saat itu nama-nama Ahlus Sunnah yang syar'i. Di antara nama-nama mereka adalah: Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Firqatun Najiyah, Tha'ifah Manshurah, dan Salaf.

Tidak boleh menghukumi seorang ulama Ahlus Sunnah bahwa dia adalah mubtadi' atau keluar dari Ahlus Sunnah dengan sebab suatu kesalahan dalam ijtihad, sama saja apakah ijtihad tersebut di dalam masalah-masalah aqidah atau dalam masalah-masalah halal dan haram yang banyak diperselisihkan oleh para ulama Ahlus Sunnah.

Kehati-hatian dalam masalah ini bukan berarti membiarkan adanya kesalahan dan tidak saling memberi nasihat. Hanya saja penjelasan terhadap adanya suatu kesalahan hendaknya dilakukan oleh seorang yang mumpuni keilmuannya dan hendaknya dia melakukan hal itu semata-mata mengharap keridhaan Alloh dan menjelaskan al-haq, juga hendaknya dia berusaha menghormati orang yang dia bantah serta memusatkan perhatian pada perkataannya bukan pada personnya. Wallohu A’lam bish shawab.[]

5:10:00 PM
Menurut Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah خفظه الله 

Tidak boleh menghukumi seorang ulama Ahlus Sunnah bahwa dia adalah mubtadi' atau keluar dari Ahlus Sunnah dengan sebab suatu kesalahan dalam ijtihad, sama saja apakah ijtihad tersebut di dalam masalah-masalah aqidah atau dalam masalah-masalah halal dan haram yang banyak diperselisihkan oleh para ulama Ahlus Sunnah. Hal ini karena dia bermaksud menepati kebenaran, dan itulah yang dia fahami sesuai dengan ijtihadnya. Maka dia berudzur dalam hal itu, bahkan dia diberi pahala atas ijtihadnya. Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Jika seorang hakim berijtihad memutuskan perkara kemudian benar maka dia mendapat dua pahala. Dan jika dia berijtihad memutuskan perkara kemudian keliru maka dia mendapat satu pahala.” (HR. Bukhari 6/2676, Muslim 3/1342)

Permasalahan ini adalah salah satu dari perkara-perkara yang disepakati oleh para ulama, tidak adayang menyelisihinya kecuali ahlul bida' dari Kha-warij dan Mu'tazilah, atau orang awam yang terpengaruh pemikiran mereka.

Nash-nash dari Kitab dan Sunnah serta perkataan salaful ummah menunjukkan bahwa seorang muslim diberi udzur jika seorang keliru tanpa dia sengaja, apabila dia bermaksud mengikuti kebenaran, sebagaimana Alloh عزّوجلّ, berfirman menghikayatkan perkataan orang-orang yang beriman:

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau keliru. (QS. al-Baqarah [2]: 286), di dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasanya Alloh berfirman setelah itu, "Sungguh telah Aku lakukan." (HR. Muslim I/116)

Alloh عزّوجلّ juga berfirman:

وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا

“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. (QS. al-A'raf [7]: 42) 

Adapun nash-nash dari Sunnah, di antaranya ialah sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم, "Bahwasanya ada seorang yang berwasiat kepada keluarganya sebelum dia wafat, 'Jika aku mati, kumpulkanlah kayu bakar yang banyak untuk membakarku. Jika api tersebut telah membakar dagingku hingga tampak tulangnya, maka ambillah dan tumbuklah kemudian taburkanlah di lautan di hari yang banyak anginnya.' Maka Alloh membangkitkannya dan menanyai orang tersebut, 'Kenapa engkau lakukan itu?' Orang tersebut menjawab, 'Karena takut kepada-Mu.' Maka Alloh mengampuninya." (HR. Bukhari, 6/514)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Laki-laki ini syak (ragu) terhadap qudrah Alloh Ta'ala dan syak terhadap kemampuan Alloh membangkitkannya jika tubuhnya telah menjadi debu, bahkan meyakini bahwa dia tidak dibangkitkan. Ini adalah kekufuran dengan kesepakatan kaum muslimin, tetapi karena dia jahil (bodoh) tidak mengetahui hal itu dan beriman serta takut kepada hukuman Alloh, maka Alloh mengampuninya dengan keimanannya itu." (Majmu' Fatawa 3/231)

Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa Alloh memberikan udzur pada suatu kesalahan dengan sebab kejahilan (ketidaktahuan) betapapun besar kesalahan tersebut dan meskipun berhubungan dengan masalah aqidah seperti mengingkari qudrah Alloh untuk membangkitkan manusia. Jika saja Alloh memberikan udzur atas kesalahan yang begitu besar, maka para ulama Ahlus Sunnah lebih berhak mendapatkan udzur jika mereka keliru dalam ijtihad.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Jika telah tsabit dengan Kitabullah bahwasanya Alloh telah mengampuni umat ini dalam hal kekeliruan yang tidak disengaja dan kelupaan maka ini berlaku secara umum. Dan tidaklah di dalam dalil-dalil syar'i yang mengharuskan bahwa Alloh mengadzab umat ini yang berbuat kesalahan dengan tidak disengaja ... dan juga sesungguhnya para ulama salaf banyak yang terjatuh dalam berbagai kesalahan dalam banyak permasalahan dan mereka sepakat tidak mengkafirkan seorang pun dengan sebab kesalahan-kesalahan tersebut, seperti sebagian sahabat yang mengingkari bahwa mayit bisa mendengar seruan orang yang hidup, dan sebagian mereka mengingkari terjadinya mi'raj dalam keadaan jaga. (Majmu' Fatawa 12/490, 492)

Dari sini, wajiblah atas kita semua bersikap hati-hati terhadap para ulama dan thullabul ilmi yang dikenal dengan kelurusan aqidah dan manhaj, tidak mudah mengeluarkan mereka dari Ahlus Sunnah dengan sebab kesalahan dalam ijtihad selama ijtihad mereka dalam batas-batas yang bisa diterima secara syar'i.

Barangsiapa begitu mudah mengeluarkan seorang ulama dari lingkup Ahlus Sunnah dengan sebab kesalahan dalam ijtihad, sungguh dia telah menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah dalam hal ini dan terjatuh dalam cara-cara ahli bid'ah secara sadar ataupun tidak sadar, karena ahli bid'ah begitu mudah menyalahkan bahkan mengkafirkan setiap orang yang menyelisihi mereka.

Kehati-hatian dalam masalah ini bukan berarti membiarkan adanya kesalahan dan tidak saling memberi nasihat. Karena menjelaskan al-haq merupakan tugas para ahli ilmu yang telah Alloh tekankan di dalam firman-Nya:

وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ
“Dan (ingatlah), ketika Alloh mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." (QS. Ali Imran [3]: 187)

Hanya saja, penjelasan terhadap adanya suatu kesalahan hendaknya dilakukan oleh seorang yang mumpuni keilmuannya, dan hendaknya dia melakukan hal itu semata-mata mengharap keridhaan Alloh dan menjelaskan al-haq, juga hendaknya dia berusaha menghormati orang yang dia bantah serta memusatkan perhatian pada perkataannya bukan pada person (orang) nya.[1]
--------------------------------------------------------------------------------
1.  Pembahasan ini disarikan dari kitab Mauqif Ahlus Sunnah min Ahlil Ahwa' wal Bida' oleh Syaikh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili (hal. 29-72)


5:02:00 PM

3. Ath-Thaifah al-Manshurah (Kelompok yang mendapat pertolongan)

Menurut Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah خفظه الله 
Nama ini diambil dari hadits Rasulullah صلي الله عليه وسلم: 

لَنْ تَزَالَ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي مَنْصُورِينَ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

“Tidak henti-hentinya ada sekelompok dari umatku yang mendapat pertolongan (dari Alloh), tidak ada yang bisa membahayakan mereka siapa pun yang menelantarkan mereka hingga tegaknya kiamat. (HR. Ahmad 5/34, Tirmidzi 4/485, Ibnu Majah 1/5, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 1/6), hadits ini muttafaq 'alaih dengan lafazh:

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ

“Senantiasa ada sekelompok ummatku yang dimenangkan atas kebenaran, tidak akan membahayakannya orang yang memusuhinya hingga hari Kiamat” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ath-Tha'ifah al-Manshurah ini adalah Ahlus Sunnah, sebagaimana dinashkan oleh para imam seperti al-lmam Bukhari, al-lmam Ahmad bin Hanbal, dan al-Qadhi 'lyadh. (Lihat Syarah Nawawi atas Muslim 13/66-67 dan Fathul Bari 1/164)

4:56:00 PM 1

2. Firqatun Najiyah (Kelompok yang selamat)

Menurut Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah خفظه الله 
Nama ini diambil dari mafhum hadits iftiraqul ummah (perpecahan umat) di atas di mana Rasulullah صلي الله عليه وسلم menyebutkan bahwa semua firqah (kelompok) di neraka, kecuali satu yang masuk surga, kelompok ini dikatakan النِّاجِيَّةُ (selamat) dari neraka.

Yusuf bin Asbath رحمه الله berkata, "Pokok-pokok kebid'ahan ada empat cabang: Rawafidh, Khawarij, Qadariyah, dan Murj’ah. Kemudian masing-masing bercabang menjadi 18 kelompok, itulah 72 kelompok. Dan kelompok yang ke-73 adalah al-Jama'ah yang dikatakan oleh Nabi bahwa dia adalah najiyah (selamat)." (asy-Syari'ah oleh al-Ajuri hal. 51)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Jika saja sifat Firqatun Najiyah adalah para pengikut jalan sahabat dan itu adalah syi'ar dari Ahlus Sunnah, maka Firqatun Najiyah adalah Ahlus Sunnah." (Minhajus Sunnah 3/457)

Nama Firqatun Najiyah bagi Ahlus Sunnah adalah nama yang masyhur di kalangan umat sampai-sampai ada sebagian ulama yang menjadikannya sebagai judul kitab-kitab mereka yang memaparkan aqidah Ahlus Sunnah, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Baththah رحمه الله dalam kitabnya al-lbanah 'an Syari'atil Firqatin Najiyah wa Mujanabatul Firaqil Madzmumah, dan Ibnul Qayyim dalam kitabnya al-Kafiyatusy Syafiyah fil Intishar lil Firqatin Najiyah.

Demikian juga, banyak penulis kitab-kitab firaq dan maqalat menyebutkan bahwa Ahlus Sunnah adalah Firqatun Najiyah, seperti Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farqu Bainal Firaq (hal. 313), Abul Muzhaffar al-lsfirayini dalam kitabnya at-Tabshir fid Dien (hal. 185), dan Syaikh Hafizh Hakami dalam kitabnya Ma'arijul Qabul (I/19)
sumber

4:49:00 PM

1. Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Menurut Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah خفظه الله

Nama ini mengandung dua bagian: Ahlus Sunnah dan al-Jama'ah.

Adapun lafazh Ahlus Sunnah, yang dimaksud lafazh Sunnah di sini adalah Islam secara keseluruhan sebagaimana dalam pembahasan definisi Sunnah secara istilah di atas, Rasulullah صلي الله عليه وسلم telah memerintahkan setiap muslim agar berpegang teguh dengan Sunnah sebagaimana dalam sabdanya:

مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Siapa yang hidup lama dari kalian akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa'ur Rasyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku. Dan awaslah kalian dari perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara yang yang baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah kesesatan.” (HR. Ahmad 4/126, Darimi 1/57, Tirmidzi 5/44, Ibnu Majah 1/15, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah hal. 26, 34)

Hadits ini menjelaskan bahwa seorang muslim yang hakiki adalah seorang muslim yang menegakkan Sunnah dan bahwasanya setiap yang keluar dari Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan Sunnah Khulafa'ur Rasyidin adalah bid'ah.

Al-lmam al-Barbahari رحمه الله berkata, "Ketahuilah, Islam adalah Sunnah, dan Sunnah adalah Islam. Tidak akan mungkin tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya." (Syarhus Sunnah hal. 21)

Adapun lafazh al-Jama'ah datang dalam hadits Rasulullah صلي الله عليه وسلم:

إِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً يَعْنِي الْأَهْوَاءَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

“Sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 kelompok -yaitu dalam ahwa- semua di neraka kecuali satu yaitu al-Jama'ah.” (HR. Ahmad 4/102, Darimi 2/314, Abu Dawud 4597, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah hal. 33)

4:44:00 PM

NAMA-NAMA AHLUS SUNNAH YANG SYAR'I

Menurut Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah خفظه الله 
Ketika muncul berbagai kelompok bid'ah dan kesesatan, masing-masing menyeru kepada kelompoknya -dalam keadaan mereka menisbatkan diri kepada Islam secara zhahir-Maka ahlul haq, para pengikut jalan Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan para sahabat, perlu memiliki nama-nama yang membedakan mereka dari kelompok-kelompok sesat ini. Sehingga muncullah saat itu nama-nama Ahlus Sunnah yang syar'i yang bersumber dan Islam.

Di antara nama-nama mereka adalah: Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Firqatun Najiyah, Tha'ifah Manshurah, dan Salaf.

Nama-nama ini tidak bertentangan dengan pembahasan di atas, bahwasanya Ahlus Sunnah tidak memiliki nama atau julukan selain Islam dan dilalahnya, karena nama-nama ini termasuk dilalah Islam.

Nama-nama Ahlus Sunnah ini sebagian darinya tsabit dengan nash dari Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan sebagian yang lainnya didapatkan oleh mereka karena pengamalan mereka terhadap Islam dengan pengamalan yang shahih. Hal ini berbeda sekali dengan nama-nama ahli bid'ah dan julukan-julukan mereka, karena nama-nama ahli bid'ah ada kalanya merujuk kepada person seperti Jahmiyah nisbat kepada Jahm bin Shafwan, Zaidiyah nisbat kepada Zaid bin Ali bin al-Husain, Kullabiyah nisbat kepada Abdullah bin Kullab, Karramiyah nisbat kepada Muhammad bin Karram, dan Asy'ariyah nisbat kepada Abul Hasan al-Asy'ari.

Ada kalanya merujuk kepada asal usul kebid'ahan mereka, seperti Rafidhah karena mereka رَفَضُوْا (menolak) Zaid bin Ali atau menolak kekhilafahan Abu Bakr dan Umar, Qadariyah karena mereka menolak qadar (taqdir), Murjiah karena mereka أَرْجَأُوْا (menangguhkan) amalan dari definisi iman, Khawarij karena mereka khuruj (keluar) dari ketaatan kepada Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib رضي الله عنه, dan Mu'tazilah karena mereka i'tizal (menjauhi) majelis Hasan al-Bashri رحمه الله.

Adapun dalil-dalil atas nama-nama Ahlus Sunnah maka akan kita jelaskan satu persatu:
di postingan selanjutnya.

1. Ahlus Sunnah wal Jama'ah
2. Firqatun Najiyah (Kelompok yang selamat)
3. Ath-Thaifah al-Manshurah (Kelompok yang mendapat pertolongan)
4. Salafiyun

Juga akan saya posting

  • SESEORANG TIDAK BOLEH DIKELUARKAN DARI AHLUS SUNNAH KARENA KESALAHAN DALAM IJTIHAD

dan

  • KESIMPULAN dari AHLUSUNAH

LINK SUMBER

PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban manusia dan dari mana pula asal-usulnya, sebenarnya masih ada hubungannya dengan zaman kita sekarang ini. Penyelidikan demikian sudah lama menetapkan, bahwa sumber peradaban itu sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu adalah Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah. Oleh karena itu sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah. Sarjana-sarjana ahli purbakala (arkelogi) kini kembali mengadakan penggalian-penggalian di Irak dan Suria dengan maksud mempelajari soal-soal peradaban Asiria dan Funisia serta menentukan zaman permulaan daripada kedua macam peradaban itu: adakah ia mendahului peradaban Mesir masa Firaun dan sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia menyusul masa itu dan terpengaruh karenanya?

Apapun juga yang telah diperoleh sarjana-sarjana arkelogi dalam bidang sejarah itu, samasekali tidak akan mengubah sesuatu dari kenyataan yang sebenarnya, yang dalam penggalian benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum memperlihatkan hasil yang berlawanan. Kenyataan ini ialah bahwa sumber peradaban pertama - baik di Mesir, Funisia atau Asiria - ada hubungannya dengan Laut Tengah; dan bahwa Mesir adalah pusat yang paling menonjol membawa peradaban pertama itu ke Yunani atau Rumawi, dan bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup kita sekarang ini, masih erat sekali hubungannya dengan peradaban pertama itu.

Apa yang pernah diperlihatkan oleh Timur Jauh dalam penyelidikam tentang sejarah peradaban, tidak pernah memberi pengaruh yang jelas terhadap pengembangan peradaban-peradaban Fira’un, Asiria atau Yunani, juga tidak pernah mengubah tujuan dan perkembangan peradaban-peradaban tersebut. Hal ini baru terjadi sesudah ada akulturasi dan saling-hubungan dengan peradaban Islam. Di sinilah proses saling pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah sedemikian rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban dunia yang menjadi pegangan umat manusia dewasa ini.

Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang dan tersebar ke pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di Mesir, di Asiria dan Yunani sejak ribuan tahun yang lalu, yang sampai saat ini perkembangannya tetap dikagumi dunia: perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bidang pertanian, perdagangan, peperangan dan dalam segala bidang kegiatan manusia. Tetapi, semua peradaban itu, sumber dan pertumbuhannya, selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa sumber itu berbeda-beda antara kepercayaan trinitas Mesir Purba yang tergambar dalam Osiris, Isis dan Horus, yang memperlihatkan kesatuan dan penjelmaan hidup kembali di negerinya serta hubungan kekalnya hidup dari bapa kepada anak, dan antara paganisma Yunani dalam melukiskan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bersumber dan tumbuh dari gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera; demikian sesudah itu timbul perbedaan-perbedaan yang dengan penggambaran semacam itu dalam pelbagai zaman kemunduran itu telah mengantarkannya ke dalam kehidupan duniawi. Akan tetapi sumber semua peradaban itu tetap membentuk perjalanan sejarah dunia, yang begitu kuat pengaruhnya sampai saat kita sekarang ini, sekalipun peradaban demikian hendak mencoba melepaskan diri dan melawan sumbernya sendiri itu dari zaman ke zaman. Siapa tahu, hal yang serupa kelak akan hidup kembali.

Dalam lingkungan masyarakat ini, yang menyandarkan peradabannya sejak ribuan tahun kepada sumber agama, dalam lingkungan itulah dilahirkan para rasul yang membawa agama-agama yang kita kenal sampai saat ini. Di Mesir dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia dibesarkan dan diasuh, dan di tangan para pendeta dan pemuka-pemuka agama kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan dan rahasia-rahasia alam.

Setelah datang ijin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat di tengah-tengah Firaun yang berkata kepada rakyatnya: “Akulah tuhanmu yang tertinggi” iapun berhadapan dengan Firaun sendiri dan tukang-tukang sihirnya, sehingga akhirnya terpaksa ia bersama-sama orang-orang Israil yang lain pindah ke Palestina. Dan di Palestina ini pula dilahirkan Isa, Ruh dan Firman Allah yang ditiupkan ke dalam diri Mariam. Setelah Tuhan menarik kembali Isa putera Mariam, murid-muridnya kemudian menyebarkan agama Nasrani yang dianjurkan Isa itu. Mereka dan pengikut-pengikut mereka mengalami bermacam-macam penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan agama ini tersebar, datanglah Maharaja Rumawi yang menguasai dunia ketika itu, membawa panji agama Nasrani. Seluruh Kerajaan Rumawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah agama ini di Mesir, di Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan Yunani, dan dari Mesir menyebar pula ke Ethiopia. Sesudah itu selama beberapa abad kekuasaan agama ini semakin kuat juga. Semua yang berada di bawah panji Kerajaan Rumawi dan yang ingin mengadakan persahabatan dan hubungan baik dengan Kerajaan ini, berada di bawah panji agama Masehi itu.

Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar di bawah panji dan pengaruh Rumawi itu berdiri pula kekuasaan agama Majusi di Persia yang mendapat dukungan moril di Timur Jauh dan di India. Selama beberapa abad itu Asiria dan Mesir yang membentang sepanjang Funisia, telah merintangi terjadinya suatu pertarungan langsung antara kepercayaan dan peradaban Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan Funisia ke dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan itu. Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur sekarang sudah berhadap-hadapan muka. Selama beberapa abad berturut-turut, baik Barat maupun Timur, dengan hendak menghormati agamanya masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam, kini telah berhadapan dengan rintangan moril, masing-masing merasa perlu dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan kepercayaannya, dan satu sama lain tidak saling mempengaruhi kepercayaan atau peradabannya, sekalipun peperangan antara mereka itu berlangsung terus-menerus sampai sekian lama.

Akan tetapi, sekalipun Persia telah dapat mengalahkan Rumawi dan dapat menguasai Syam dan Mesir dan sudah sampai pula di ambang pintu Bizantium, namun tak terpikir oleh raja-raja Persia akan menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat agama Nasrani. Bahkan pihak yang kini berkuasa itu malahan menghormati kepercayaan orang yang dikuasainya. Rumah-rumah ibadat mereka yang sudah hancur akibat perang dibantu pula membangun kembali dan dibiarkan mereka bebas menjalankan upacara-upacara keagamaannya. Satu-satunya yang diperbuat pihak Persia dalam hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu berganti berada di pihak Rumawi Salib itupun diambilnya kembali dari tangan Persia. Dengan demikian peperangan rohani di Barat itu tetap di Barat dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian rintangan moril tadi sama pula dengan rintangan alam dan kedua kekuatan itu dari segi rohani tidak saling berbenturan.

Keadaan serupa itu berlangsung terus sampai abad keenam. Dalam pada itu pertentangan antara Rumawi dengan Bizantium makin meruncing. Pihak Rumawi, yang benderanya berkibar di benua Eropa sampai ke Gaul dan Kelt di Inggris selama beberapa generasi dan selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu berangsur-angsur telah mulai surut, sampai akhirnya Bizantium memisahkan diri dengan kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris Kerajaan Rumawi yang menguasai dunia itu. Puncak keruntuhan Kerajaan Rumawi ialah tatkala pasukan Vandal yang buas itu datang menyerbunya dan mengambil kekuasaan pemerintahan di tangannya. Peristiwa ini telah menimbulkan bekas yang dalam pada agama Masehi yang tumbuh dalam pangkuan Kerajaan Rumawi. Mereka yang sudah beriman kepada Isa itu telah mengalami pengorbanan-pengorbanan besar, berada dalam ketakutan di bawah kekuasaan Vandal itu.

Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai pecah-belah.Dari zaman ke zaman mazhab-mazhab itu telah terbagi-bagi ke dalam sekta-sekta dan golongan-golongan. Setiap golongan mempunyai pandangan dan dasar-dasar agama sendiri yang bertentangan dengan golongan lainnya. Pertentangan-pertentangan antara golongan-golongan satu sama lain karena perbedaan pandangan itu telah mengakibatkan adanya permusuhan pribadi yang terbawa oleh karena moral dan jiwa yang sudah lemah, sehingga cepat sekali ia berada dalam ketakutan, mudah terlibat dalam fanatisma yang buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa itu, di antara golongan-golongan Masehi itu ada yang mengingkari bahwa Isa mempunyai jasad disamping bayangan yang tampak pada manusia; ada pula yang mempertautkan secara rohaniah antara jasad dan ruhnya sedemikian rupa sehingga memerlukan khayal dan pikiran yang begitu rumit untuk dapat menggambarkannya; dan disamping itu ada pula yang mau menyembah Mariam, sementara yang lain menolak pendapat bahwa ia tetap perawan sesudah melahirkan Almasih.

Terjadinya pertentangan antara sesama pengikut-pengikut Isa itu adalah peristiwa yang biasa terjadi pada setiap umat dan zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran: soalnya hanya terbatas pada teori kata-kata dan bilangan saja, dan pada tiap kata dan tiap bilangan itu ditafsirkan pula dengan bermacam-macam arti, ditambah dengan rahasia-rahasia, ditambah dengan warna-warni khayal yang sukar diterima akal dan hanya dapat dikunyah oleh perdebatan-perdebatan sophisma yang kaku saja.

Salah seorang pendeta gereja berkata: “Seluruh penjuru kota itu diliputi oleh perdebatan. Orang dapat melihatnya dalam pasar-pasar, di tempat-tempat penjual pakaian, penukaran uang, pedagang makanan. Jika ada orang bermaksud hendak menukar sekeping emas, ia akan terlibat ke dalam suatu perdebatan tentang apa yang diciptakan dan apa yang bukan diciptakan. Kalau ada orang hendak menawar harga roti maka akan dijawabnya: Bapa lebih besar dari putera dan putera tunduk kepada Bapa. Bila ada orang yang bertanya tentang kolam mandi adakah airnya hangat, maka pelayannya akan segera menjawab:
“Putera telah diciptakan dari yang tak ada.”

Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama Masehi sehingga ia terpecah-belah kedalam golongan-golongan dan sekta-sekta itu dari segi politik tidak begitu besar pengaruhnya terhadap Kerajaan Rumawi. Kerajaan itu tetap kuat dan kukuh. Golongan-golongan itupun tetap hidup dibawah naungannya dengan tetap adanya semacam pertentangan tapi tidak sampai orang melibatkan diri kedalam polemik teologi atau sampai memasuki pertemuan-pertemuan semacam itu yang pernah diadakan guna memecahkan sesuatu masalah. Suatu keputusan yang pernah diambil oleh suatu golongan tidak sampai mengikat golongan yang lain. Dan Kerajaanpun telah pula melindungi semua golongan itu dan memberi kebebasan kepada mereka mengadakan polemik, yang sebenarnya telah menambah kuatnya kekuasaan Kerajaan dalam bidang administrasi tanpa mengurangi penghormatannya kepada agama. Setiap golongan jadinya bergantung kepada belas kasihan penguasa, bahkan ada dugaan bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya pengakuan pihak yang berkuasa itu.

Sikap saling menyesuaikan diri di bawah naungan Imperium itu itulah pula yang menyebabkan penyebaran agama Masehi tetap berjalan dan dapat diteruskan dari Mesir dibawah Rumawi sampai ke Ethiopia yang merdeka tapi masih dalam lingkungan persahabatan dengan Rumawi. Dengan demikian ia mempunyai kedudukan yang sama kuat di sepanjang Laut Merah seperti di sekitar Laut Tengah itu. Dari wilayah Syam ia menyeberang ke Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab Ghassan yang pindah ke sana telah pula menganut agama itu, sampai ke pantai Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir yang berpindah dari pedalaman sahara yang tandus ke daerah-daerah subur juga demikian, yang selanjutnya mereka tinggal di daerah itu beberapa lama untuk kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia Majusi.

Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia telah pula mengalami kemunduran seperti agama Masehi dalam Imperium Rumawi. Kalau dalam agama Majusi menyembah api itu merupakan gejala yang paling menonjol, maka yang berkenaan dengan dewa kebaikan dan kejahatan pengikut-pengikutnya telah berpecah-belah juga menjadi golongan-golongan dan sekta-sekta pula. Tapi disini bukan tempatnya menguraikan semua itu. Sungguhpun begitu kekuasaan politik Persia tetap kuat juga. Polemik keagamaan tentang lukisan dewa serta adanya pemikiran bebas yang tergambar dibalik lukisan itu, tidaklah mempengaruhinya. Golongan-golongan agama yang berbedabeda itu semua berlindung di bawah raja Persia. Dan yang lebih memperkuat pertentangan itu ialah karena memang sengaja digunakan sebagai suatu cara supaya satu dengan yang lain saling berpukulan, atas dasar kekuatiran, bila salah satunya menjadi kuat, maka Raja atau salah satu golongan itu akan memikul akibatnya.
Kedua kekuatan yang sekarang sedang berhadap-hadapan itu ialah: kekuatan Kristen dan kekuatan Majusi, kekuatan Barat berhadapan dengan kekuatan Timur. Bersamaan dengan itu kekuasaan-kekuasaan kecil yang berada dibawah pengaruh kedua kekuatan itu, pada awal abad keenam berada di sekitar jazirah Arab. Kedua kekuatan itu masing-masing mempunyai hasrat ekspansi dan penjajahan. Pemuka-pemuka kedua agama itu masing-masing berusaha sekuat tenaga akan menyebarkan agamanya ke atas kepercayaan agama lain yang sudah dianutnya. Sungguhpun demikian jazirah itu tetap seperti sebuah oasis yang kekar tak sampai terjamah oleh peperangan, kecuali pada beberapa tempat di bagian pinggir saja, juga tak sampai terjamah oleh penyebaran agama-agama Masehi atau Majusi, kecuali sebagian kecil saja pada beberapa kabilah. Gejala demikian ini dalam sejarah kadang tampak aneh kalau tidak kita lihat letak dan iklim jazirah itu serta pengaruh keduanya terhadap kehidupan penduduknya, dalam aneka macam perbedaan dan persamaan serta kecenderungan hidup mereka masing-masing.

Jazirah Arab bentuknya memanjang dan tidak parallelogram. Ke sebelah utara Palestina dan padang Syam, ke sebelah timur Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk Persia, ke sebelah selatan Samudera Indonesia dan Teluk Aden, sedang ke sebelah barat Laut Merah. Jadi, dari sebelah barat dan selatan daerah ini dilingkungi lautan, dari utara padang sahara dan dari timur padang sahara dan Teluk Persia. Akan tetapi bukan rintangan itu saja yang telah melindunginya dari serangan dan penyerbuan penjajahan dan penyebaran agama, melainkan juga karena jaraknya yang berjauh-jauhan. Panjang semenanjung itu melebihi seribu kilometer, demikian juga luasnya sampai seribu kilometer pula. Dan yang lebih-lebih lagi melindunginya ialah tandusnya daerah ini yang luar biasa hingga semua penjajah merasa enggan melihatnya. Dalam daerah yang seluas itu sebuah sungaipun tak ada. Musim hujan yang akan dapat dijadikan pegangan dalam mengatur sesuatu usaha juga tidak menentu. Kecuali daerah Yaman yang terletak di sebelah selatan yang sangat subur tanahnya dan cukup banyak hujan turun, wilayah Arab lainnya terdiri dari gunung-gunung, dataran tinggi, lembah-lembah tandus serta alam yang gersang. Tak mudah orang akan dapat tinggal menetap atau akan memperoleh kemajuan. Samasekali hidup di daerah itu tidak menarik selain hidup mengembara terus-menerus dengan mempergunakan unta sebagai kapalnya di tengah-tengah lautan padang pasir itu, sambil mencari padang hijau untuk makanan ternaknya, beristirahat sebentar sambil menunggu ternak itu menghabiskan makanannya, sesudah itu berangkat lagi mencari padang hijau baru di tempat lain. Tempat-tempat beternak yang dicari oleh orang-orang badwi jazirah biasanya di sekitar mata air yang menyumber dari bekas air hujan, air hujan yang turun dari celah-celah batu di daerah itu. Dari situlah tumbuhnya padang hijau yang terserak di sana-sini dalam wahah-wahah yang berada di sekitar mata air.

Sudah wajar sekali dalam wilayah demikian itu, yang seperti Sahara Afrika Raya yang luas, tak ada orang yang dapat hidup menetap, dan cara hidup manusia yang biasapun tidak pula dikenal. Juga sudah biasa bila orang yang tinggal di daerah itu tidak lebih maksudnya hanya sekadar menjelajahinya dan menyelamatkan diri saja, kecuali di tempat-tempat yang tak seberapa, yang masih ditumbuhi rumput dan tempat beternak. Juga sudah sewajarnya pula tempat-tempat itu tetap tak dikenal karena sedikitnya orang yang mau mengembara dan mau menjelajahi daerah itu. Praktis orang zaman dahulu tidak mengenal jazirah Arab, selain Yaman. Hanya saja letaknya itu telah dapat menyelamatkan dari pengasingan dan penghuninyapun dapat bertahan diri.

Pada masa itu orang belum merasa begitu aman mengarungi lautan guna mengangkut barang dagangan atau mengadakan pelayaran. Dari peribahasa Arab yang dapat kita lihat sekarang menunjukkan, bahwa ketakutan orang menghadapi laut sama seperti dalam menghadapi maut. Tetapi, bagaimanapun juga untuk mengangkut barang dagangan itu harus ada jalan lain selain mengarungi bahaya maut itu. Yang paling penting transpor perdagangan masa itu ialah antara Timur dan Barat: antara Rumawi dan sekitarnya, serta India dan sekitarnya. Jazirah Arab masa itu merupakan daerah lalu-lintas perdagangan yang diseberanginya melalui Mesir atau melalui Teluk Persia, lewat terusan yang terletak di mulut Teluk Persia itu. Sudah tentu wajar sekali bilamana penduduk pedalaman jazirah Arab itu menjadi raja sahara, sama halnya seperti pelaut-pelaut pada masa-masa berikutnya yang daerahnya lebih banyak dikuasai air daripada daratan, menjadi raja laut. Dan sudah wajar pula bilamana raja-raja padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan para kafilah sampai ke tempat-tempat yang berbahaya, sama halnya seperti para pelaut, mereka sudah mengenal garis-garis perjalanan kapal sampai sejauh-jauhnya. “Jalan kafilah itu bukan dibiarkan begitu saja,” kataHeeren, “tetapi sudah menjadi tempat yang tetap mereka lalui. Di daerah padang pasir yang luas itu, yang biasa dilalui oleh para kafilah, alam telah memberikan tempat-tempat tertentu kepada mereka, terpencar-pencar di daerah tandus, yang kelak menjadi tempat mereka beristirahat. Di tempat itu, di bawah naungan pohon-pohon kurma dan di tepi air tawar yang mengalir di sekitarnya, seorang pedagang dengan binatang bebannya dapat menghilangkan haus dahaga sesudah perjalanan yang melelahkan itu. Tempat-tempat peristirahatan itu juga telah menjadi gudang perdagangan mereka, dan yang sebagian lagi dipakai sebagai tempat penyembahan, tempat ia meminta perlindungan atas barang dagangannya atau meminta pertolongan dari tempat itu.”1

Lingkungan jazirah itu penuh dengan jalan kafilah. Yang penting di antaranya ada dua. Yang sebuah berbatasan dengan Teluk Persia, Sungai Dijla, bertemu dengan padang Syam dan Palestina. Pantas jugalah kalau batas daerah-daerah sebelah timur yang berdekatan itu diberi nama Jalan Timur. Sedang yang sebuah lagi berbatasan dengan Laut Merah; dan karena itu diberi nama Jalan Barat. Melalui dua jalan inilah produksi barang-barang di Barat diangkut ke Timur dan barang-barang di Timur diangkut ke Barat. Dengan demikian daerah pedalaman itu mendapatkan kemakmurannya.

Akan tetapi itu tidak menambah pengetahuan pihak Barat tentang negeri-negeri yang telah dilalui perdagangan mereka itu. Karena sukarnya menempuh daerah-daerah itu, baik pihak Barat maupun pihak Timur sedikit sekali yang mau mengarunginya - kecuali bagi mereka yang sudah biasa sejak masa mudanya. Sedang mereka yang berani secara untung-untungan mempertaruhkan nyawa banyak yang hilang secara sia-sia di tengah-tengah padang tandus itu. Bagi orang yang sudah biasa hidup mewah di kota, tidak akan tahan menempuh gunung-gunung tandus yang memisahkan Tihama dari pantai Laut Merah dengan suatu daerah yang sempit itu. Kalaupun pada waktu itu ada juga orang yang sampai ke tempat tersebut - yang hanya mengenal unta sebagai kendaraan - ia akan mendaki celah-celah pegunungan yang akhirnya akan menyeberang sampai ke dataran tinggi Najd yang penuh dengan padang pasir. Orang yang sudah biasa hidup dalam sistem politik yang teratur dan dapat menjamin segala kepuasannya akan terasa berat sekali hidup dalam suasana pedalaman yang tidak mengenal tata-tertib kenegaraan. Setiap kabilah, atau setiap keluarga, bahkan setiap pribadipun tidak mempunyai suatu sistiem hubungan dengan pihak lain selain ikatan keluarga atau kabilah atau ikatan sumpah setia kawan atau sistem jiwar (perlindungan bertetangga) yang biasa diminta oleh pihak yang lemah kepada yang lebih kuat. Pada setiap zaman tata-hidup bangsa-bangsa pedalaman itu memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota. Ia sudah puas dengan cara hidup saling mengadakan pembalasan, melawan permusuhan dengan permusuhan, menindas yang lemah yang tidak mempunyai pelindung. Keadaan semacam ini tidak menarik perhatian orang untuk membuat penyelidikan yang lebih dalam.

Oleh karena itu daerah Semenanjung ini tetap tidak dikenal dunia pada waktu itu. Dan barulah kemudian - sesudah Muhammad s.a.w. lahir di tempat tersebut - orang mulai mengenal sejarahnya dari berita-berita yang dibawa orang dari tempat itu, dan daerah yang tadinya samasekali tertutup itu sekarang sudah mulai dikenal dunia.

Tak ada yang dikenal dunia tentang negeri-negeri Arab itu selain Yaman dan tetangga-tetangganya yang berbatasan dengan Teluk Persia. Hal ini bukan karena hanya disebabkan oleh adanya perbatasan Teluk Persia dan Samudera Indonesia saja, tetapi lebih-lebih disebabkan oleh - tidak seperti jazirah-jazirah lain - gurun sahara yang tandus. Dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabatpun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebaliknya, daerah Yaman tanahnya subur, hujan turun secara teratur pada setiap musim. Ia menjadi negeri peradaban yang kuat, dengan kota-kota yang makmur dan tempat-tempat beribadat yang kuat sepanjang masa. Penduduk jazirah ini terdiri dari suku bangsa Himyar, suatu suku bangsa yang cerdas dan berpengetahuan luas. Air hujan yang menyirami bumi ini mengalir habis menyusuri tanah terjal sampai ke laut. Mereka membuat Bendungan Ma’rib yang dapat menampung arus air hujan sesuai dengan syarat-syarat peradaban yang berlaku.

Sebelum di bangunnya bendungan ini , air hujan yang deras terjun dari pegunungan Yaman yang tinggi-tinggi itu, menyusur turun ke lembah-lembah yang terletak di sebelah timur kota Ma’rib. Mula-mula air turun melalui celah-celah dua buah gunung yang terletak di kanan-kiri lembah ini, memisahkan satu sama lain seluas kira-kira 400 meter. Apabila sudah sampai di Ma’rib air itu menyebar ke dalam lembah demikian rupa sehingga hilang terserap seperti di bendungan-bendungan Hulu Sungai Nil. Berkat pengetahuan dan kecerdasan yang ada pada penduduk Yaman itu, mereka membangun sebuah bendungan, yaitu Bendungan Ma’rib. Bendungan ini dibangun daripada batu di ujung lembah yang sempit, lalu dibuatnya celah-celah guna memungkinkan adanya distribusi air ke tempat-tempat yang mereka kehendaki dan dengan demikian tanah mereka bertambah subur. Peninggalan-peninggalan peradaban Himyar di Yaman yang pernah diselidiki - dan sampai sekarang penyelidikan itu masih diteruskan -menunjukkan, bahwa peradaban mereka pada suatu saat memang telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, juga sejarahpun menunjukkan bahwa Yaman pernah pula mengalami bencana.

Sungguhpun begitu peradaban yang dihasilkan dari kesuburan negerinya serta penduduknya yang menetap menimbulkan gangguan juga dalam lingkungan jazirah itu. Raja-raja Yaman kadang dari keluarga Himyar yang sudah turun-temurun, kadang juga dari kalangan rakyat Himyar sampai pada waktu Dhu Nuwas al-Himyari berkuasa. Dhu Nuwas sendiri condong sekali kepada agama Musa (Yudaisma), dan tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Ia belajar agama ini dari orang-orang Yahudi yang pindah dan menetap di Yaman. Dhu Nuwas inilah yang disebut-sebut oleh ahli-ahli sejarah, yang termasuk dalam kisah “orang-orang yang membuat parit,” dan menyebabkan turunnya ayat: “Binasalah orang-orang yang telah membuat parit. Api yang penuh bahan bakar. Ketika mereka duduk di tempat itu. Dan apa yang dilakukan orang-orang beriman itu mereka menyaksikan. Mereka menyiksa orang-orang itu hanya karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Mulia dan Terpuji.” (Qur’an 85:4-8)

Cerita ini ringkasnya ialah bahwa ada seorang pengikut Nabi Isa yang saleh bernama Phemion telah pindah dari Kerajaan Rumawi ke Najran. Karena orang ini baik sekali, penduduk kota itu banyak yang mengikuti jejaknya, sehingga jumlah mereka makin lama makin bertambah juga. Setelah berita itu sampai kepada Dhu Nuwas, ia pergi ke Najran dan dimintanya kepada penduduk supaya mereka masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuhnya kemudian dengan pedang atau dibikin cacat. Menurut beberapa buku sejarah korban pembunuhan itu mencapai duapuluh ribu orang. Salah seorang di antaranya dapat lolos dari maut dan dari tangan Dhu Nuwas, ia lari ke Rumawi dan meminta bantuan Kaisar Yustinianus atas perbuatan Dhu Nuwas itu. Oleh karena letak Kerajaan Rumawi ini jauh dari Yaman, Kaisar itu menulis surat kepada Najasyi (Negus) supaya mengadakan pembalasan terhadap raja Yaman. Pada waktu itu [abad ke-6] Abisinia yang dipimpin oleh Najasyi sedang berada dalam puncak kemegahannya. Perdagangan yang luas melalui laut disertai oleh armada yang kuat2 dapat menancapkan pengaruhnya sampai sejauh-jauhnya. Pada waktu itu ia menjadi sekutu Imperium Rumawi Timur dan yang memegang panji Kristen di Laut Merah, sedang Kerajaan Rumawi Timur sendiri menguasainya di bagian Laut Tengah.
Setelah surat Kaisar sampai ke tangan Najasyi, ia mengirimkan bersama orang Yaman itu - yang membawa surat - sepasukan tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan Abraha al-Asyram salah seorang prajuritnya. Aryat menyerbu Kerajaan Yaman atas nama penguasa Abisinia. Ia memerintah Yaman ini sampai ia dibunuh oleh Abraha yang kemudian menggantikan kedudukannya. Abraha inilah yang memimpin pasukan gajah, dan dia yang kemudian menyerbu Mekah guna menghancurkan Ka’bah tetapi gagal, seperti yang akan terlihat nanti dalam pasal berikut.

Anak-anak Abraha kemudian menguasai Yaman dengan tindakan sewenang-wenang. Melihat bencana yang begitu lama menimpa penduduk, Saif bin Dhi Yazan pergi hendak menemui Maharaja Rumawi. Ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya supaya mengirimkan penguasa lain dan Rumawi ke Yaman. Tetapi karena adanya perjanjian persekutuan antara Kaisar Yustinianus dengan Najasyi tidak mungkin ia dapat memenuhi permintaan Saif bin Dhi Yazan itu. Oleh karena itu Saif meninggalkan Kaisar dan pergi menemui Nu’man bin’l-Mundhir selaku Gubernur yang diangkat oleh Kisra untuk daerah Hira dan sekitarnya di Irak.3

Nu’man dan Saif bin Dhi Yazan bersama-sama datang menghadap Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang duduk dalam Ruangan Resepsi (Iwan Kisra) yang megah dihiasi oleh lukisan-lukisan bimasakti pada bagian tahta itu. Di tempat musim dinginnya bagian ini dikelilingi dengan tabir-tabir dari bulu binatang yang mewah sekali. Di tengah-tengah itu bergantungan lampu-lampu kendil terbuat daripada perak dan emas dan diisi penuh dengan air tawar. Di atas tahta itulah terletak mahkotanya yang besar berhiaskan batu delima, kristal dan mutiara bertali emas dan perak, tergantung dengan rantai dari emas pula. Ia sendiri memakai pakaian serba emas. Setiap orang yang memasuki tempat itu akan merasa terpesona oleh kemegahannya. Demikian juga halnya dengan Saif bin Dhi Yazan.

Kisra menanyakan maksud kedatangannya itu dan Saifpun bercerita tentang kekejaman Abisinia di Yaman. Sungguhpun pada mulanya Kisra Parvez ragu-ragu, tetapi kemudian ia mengirimkan juga pasukannya di bawah pimpinan Wahraz (Syahrvaraz?), salah seorang keluarga ningrat Persia yang paling berani. Persia telah mendapat kemenangan dan orang-orang Abisinia dapat diusir dari Yaman yang sudah didudukinya selama 72 tahun itu.

Sejak itulah Yaman berada di bawah kekuasaan Persia, dan ketika Islam lahir seluruh daerah Arab itu berada dalam naungan agama baru ini. Akan tetapi orang-orang asing yang telah menguasai Yaman itu tidak langsung di bawah kekuasaan Raja Persia. Terutama hal itu terjadi setelah Syirawih (Shiruya Kavadh II) membunuh ayahnya, Kisra Parvez, dan dia sendiri menduduki takhta. Ia membayangkan - dengan pikirannya yang picik itu bahwa dunia dapat dikendalikan sekehendaknya dan bahwa kerajaannya membantu memenuhI kehendaknya yang sudah hanyut dalam hidup kesenangan itu. Masalah-masalah kerajaan banyak sekali yang tidak mendapat perhatian karena dia sudah mengikuti nafsunya sendiri. Ia pergi memburu dalam suatu kemewahan yang belum pernah terjadi Ia berangkat diiringi oleh pemuda-pemuda ningrat berpakaian merah, kuning dan lembayung, dikelilingi oleh pengiring-pengiring yang membawa burung elang dan harimau yang sudah dijinakkan dan ditutup moncongnya; oleh budak-budak yang membawa wangi-wangian, oleh pengusir-pengusir lalat dan pemain-pemain musik. Supaya merasa dirinya dalam suasana musim semi sekalipun sebenarnya dalam musim dingin yang berat, ia beserta rombongannya duduk di atas permadani yang lebar dilukis dengan lorong-lorong, ladang dan kebun yang ditanami bunga-bungaan aneka warna, dan dilatarbelakangi oleh semak-semak, hutan hijau serta sungai-sungai berwarna perak.

Tetapi sungguhpun Syirawih begitu jauh mengikuti kesenangannya, kerajaan Persia tetap dapat mempertahankan kemegahannya, dan tetap merupakan lawan yang kuat terhadap kekuasaan Bizantium dan penyebaran Kristen. Sekalipun dengan naik tahtanya Syirawih ini telah mengurangi kejayaan kerajaannya, ia telah memberi kesempatan kepada kaum Muslimin memasuki negerinya dan menyebarkan Islam.

Yaman yang telah dijadikan gelanggang pertentangan sejak abad ke-4 itu sebenarnya telah meninggalkan bekas yang dalam sekali dalam sejarah Semenanjung Arab dari segi pembagian penduduknya. Disebutkan bahwa Bendungan Ma’rib yang oleh suku-bangsa Himyar telah dimanfaatkan untuk keuntungan negerinya, telah hancur pula dilanda banjir besar. Disebabkan oleh adanya pertentangan yang terus-menerus itu, lalailah mereka yang harus selalu mengawasi dan memeliharanya. Bendungan itu lapuk dan tidak tahan lagi menahan banjir. Dikatakan juga, bahwa setelah Rumawi melihat Yaman menjadi pusat pertentangan antara kerajaannya dengan Persia dan bahwa perdagangannya terancam karena pertentangan itu, iapun menyiapkan armadanya menyeberangi Laut Merah - antara Mesir dengan negeri-negeri Timur yang jauh - guna menarik perdagangan yang dibutuhkan oleh negerinya. Dengan demikian tidak perlu lagi ia menempuh jalan kafilah.

Mengenai peristiwanya, ahli-ahli sejarah sependapat, tetapi mengenai sebab terjadinya peristiwa itu mereka berlainan pendapat. Peristiwanya ialah mengenai pindahnya kabilah Azd di Yaman ke Utara. Semua mereka sependapat tentang kepindahan ini, sekalipun sebagian menghubungkannya dengan sepinya beberapa kota di Yaman karena mundurnya perdagangan yang biasa melalui tempat itu. Yang lain menghubung-hubungkan kepada rusaknya bendungan Ma’rib, sehingga banyak di antara kabilah-kabilah yang pindah karena takut binasa. Tetapi apapun juga kejadiannya, namun adanya imigrasi ini telah menyebabkan Yaman jadi berhubungan dengan negeri-negeri Arab lainnya, suatu hubungan keturunan dan percampuran yang sampai sekarang masih dicoba oleh para sarjana menyelidikinya.

Apabila sistem politik di Yaman sudah menjadi kacau seperti yang dapat kita saksikan, yang disebabkan oleh keadaan yang menimpa negeri itu serta dijadikannya tempat itu medan pertarungan, maka struktur politik serupa itu tidak dikenal pada beberapa negeri Semenanjung Arab lainnya waktu itu. Segala macam sistem yang dapat dianggap sebagai suatu sistem politik seperti pengertian kita sekarang atau seperti pengertian negara-negara yang sudah maju pada masa itu, di daerah-daerah seperti Tihama, Hijaz, Najd dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab, pengertian demikian itu belum dikenal. Anak negeri pada masa itu bahkan sampai sekarang adalah penduduk pedalaman yang tidak biasa di kota-kota. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu.

Seperti juga ditempat-tempat lain, disinipun dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan mengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga dan kebebasan kabilah yang penuh. Sedang orang kota, atas nama tata-tertib mau mengalah dan membuang sebagian kemerdekaan mereka untuk kepentingan masyarakat dan penguasa, sebagai imbalan atas ketenangan dan kemewahan hidup mereka. Sedang seorang pengembara tidak pedulikan kemewahan, tidak betah dengan ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apapun - seperti kekayaan yang menjadi harapan orang kota - selain kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup dalam persamaan yang penuh dengan anggota-anggota kabilahnya atau kabilah-kabilah lain sesamanya. Dasar kehidupannya ialah seperti makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan terus sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang sudah ditanamkan dalam hidup mengembara yang serba bebas itu.

Oleh karena itu, kaum pengembara tidak menyukai tindakan ketidak adilan yang ditimpakan kepada mereka. Mereka mau melawannya mati-matian, dan kalau tidak dapat melawan, ditinggalkannya tempat tinggal mereka itu, dan mereka mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang terpaksa harus demikian.

Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan yang paling mudah bagi kabilah-kabilah ini bila harus juga timbul perselisihan yang tidak mudah diselesaikan dengan cara yang terhormat. Karena bawaan itu juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat harga diri, keberanian, suka tolong-menolong, melindungi tetangga serta sikap memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan makin kuat apabila semakin dekat ia kepada kehidupan pedalaman, dan akan makin hilang apabila semakin dekat ia kepada kehidupan kota.

Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik Rumawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada Yaman saja dari antara jazirah lainnya yang memang tidak mau tunduk itu. Mereka lebih suka meninggalkan tanah air daripada tunduk kepada perintah. Baik pribadi-pribadi atau kabilah-kabilah tidak akan taat kepada peraturan apapun yang berlaku atau kepada lembaga apapun yang berkuasa.

Sifat-sifat pengembaraan itu cukup mempengaruhi daerah yang kecil-kecil yang tumbuh di sekitar jaziarah karena adanya perdagangan para kafilah, seperti yang sudah kita terangkan. Daerah-daerah ini dipakai oleh para pedagang sebagai tempat beristirahat sesudah perjalanan yang begitu meletihkan. Di situ mereka bertemu dengan tempat-tempat pemujaan sang dewa guna memperoleh keselamatan bagi mereka serta menjauhkan marabahaya gurun sahara serta mengharapkan perdagangan mereka selamat sampai di tempat tujuan.

Kota-kota seperti Mekah, Ta’if, Yathrib dan yang sejenis itu seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah gunung atau gurun pasir, terpengaruh juga oleh sifat-sifat pengembaraan demikian itu. Dalam susunan kabilah serta cabang-cabangnya, perangai hidup, adat-istiadat serta kebenciannya terhadap segala yang membatasi kebebasannya lebih dekat kepada cara hidup pedalaman daripada kepada cara-cara di kota, sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu cara hidup yang menetap, yang tentunya tidak sama dengan cara-hidup pedalaman. Dalam pembicaraan tentang Mekah dan Yathrib pada pasal berikut ini akan terlihat agak lebih terperinci.

Lingkungan masyarakat dalam alam demikian ini serta keadaan moral, politik dan sosial yang ada pada mereka, mempunyai pengaruh yang sama terhadap cara beragamanya. Melihat hubungannya dengan agama Kristen Rumawi dan Majusi Persia, adakah Yaman dapat terpengaruh oleh kedua agama itu dan sekaligus mempengaruhi kedua agama tersebut di jazirah Arab lainnya? Ini juga yang terlintas dalam pikiran kita, terutama mengenai agama Kristen. Misi Kristen yang ada pada masa itu sama giatnya seperti yang sekarang dalam mempropagandakan agama. Pengaruh pengertian agama dalam jiwa serta cara hidup kaum pengembara tidak sama dengan orang kota. Dalam kehidupan kaum pengembara manusia berhubungan dengan alam, ia merasakan adanya wujud yang tak terbatas dalam segala bentuknya. Ia merasa perlu mengatur suatu cara hidup antara dirinya dengan alam dengan ketak-terbatasannya itu. Sedang bagi orang kota ketak-terbatasan itu sudah tertutup oleh kesibukannya hari-hari, oleh adanya perlindungan masyarakat terhadap dirinya sebagai imbalan atas kebebasannya yang diberikan sebagian kepada masyarakat, serta kesediaannya tunduk kepada undang-undang penguasa supaya memperoleh jaminan dan hak perlindungan. Hal ini menyebabkannya tidak merasa perlu berhubungan dengan yang di luar penguasa itu, dengan kekuatan alam yang begitu dahsyat terhadap kehidupan manusia. Hubungan jiwa dengan unsur-unsur alam yang di sekitarnya jadi berkurang.

Dalam keadaan serupa ini, apakah yang telah diperoleh Kristen dengan kegiatannya yang begitu besar sejak abad-abad permulaan dalam menyebarkan ajaran agamanya itu? Barangkali soalnya hanya akan sampai di situ saja kalau tidak karena adanya soal-soal lain yang menyebabkan negeri-negeri Arab itu, termasuk Yaman, tetap bertahan pada paganisma agama nenek-moyangnya, dan hanya beberapa kabilah saja yang mau menerima agama Kristen.

Manifestasi peradaban dunia yang paling jelas pada masa itu - seperti yang sudah kita saksikan - berpusat di sekitar Laut Tengah dan Laut Merah. Agama-agama Kristen dan Yahudi bertetangga begitu dekat sekitar tempat itu. Kalau keduanya tidak memperlihatkan permusuhan yang berarti, juga tidak memperlihatkan persahabatan yang berarti pula. Orang-orang Yahudi masa itu dan sampai sekarang juga masih menyebut-nyebut adanya pembangkangan dan perlawanan Nabi Isa kepada agama mereka. Dengan diam-diam mereka bekerja mau membendung arus agama Kristen yang telah mengusir mereka dari Palestina, dan yang masih berlindung dibawah panji Imperium Rumawi yang membentang luas itu.
       Catatan kaki:
3 Beberapa keterangan dalam buku-buku sejarah berbeda-beda tentang sebab penyerbuan Abisinia (Habasya) ini ke Yaman. Keterangan itu mengatakan, bahwa hubungan dagang antara Arab Musta’riba di Hijaz dengan Yaman dan Abisinia terus berlangsung. Pada waktu itu pantai-pantai Habasya membentang sepanjang Laut Merah lengkap dengan armada perdagangannya. Karena kekayaan dan kesuburannya, Kerajaan Rumawi ingin sekali menguasai Yaman. Aelius Galius penguasa (prefek) Kaisar Rumawi di Mesir mengadakan persiapan. akan menyerbu Yaman. Pasukannya dikerahkan menyeberangi Laut Merah ke Yaman dan juga menyerang Najran. Tetapi karena adanya penyakit yang menyerang mereka. Orang-orang Yaman mudah sekali mengusir mereka itu dan merekapun kembali ke Mesir. Sesudah itupun Rumawõ berturut-turut menyerang jazirah Arab di Yaman dan di luar Yaman, tapi kenyataannya tidak lebih menguntungkan dan yang pernah dilakukan oleh Galius. Saat itu Najasyi di Abisinia merasa perlu mengadakan pembalasan terhadap Yaman yang telah memaksakan agama Yahudi terhadap orangorang Rumawi yang beragama Kristen. Pasukan Aryat dikerahkan menyerbu Yaman dan berkuasa di tempat itu sampai pada waktu Persia datang mengusir mereka.
-------------------------------------------------------------------------------------------
Orang-orang Yahudi di negeri-negeri Arab merupakan kaum imigran yang besar, kebanyakan mereka tinggal di Yaman dan Yathrib. Di samping itu kemudian agama Majusi (Mazdaisma) Persia tegak menghadapi arus kekuatan Kristen supaya tidak sampai menyeberangi Furat (Euphrates) ke Persia, dan kekuatan moril demikian itu didukung oleh keadaan paganisma di mana saja ia berada. Jatuhnya Rumawi dan hilangnya kekuasaan yang di tangannya, ialah sesudah pindahnya pusat peradaban dunia itu ke Bizantium.

Gejala-gejala kemunduran berikutnya ialah bertambah banyaknya sekta-sekta Kristen yang sampai menimbulkan pertentangan dan peperangan antara sesama mereka. Ini membawa akibat merosotnya martabat iman yang tinggi ke dalam kancah perdebatan tentang bentuk dan ucapan, tentang sampai di mana kesucian Mariam: adakah ia yang lebih utama dari anaknya Isa Almasih atau anak yang lebih utama dari ibu - suatu perdebatan yang terjadi di mana-mana, suatu pertanda yang akan membawa akibat hancurnya apa yang sudah biasa berlaku.

Ini tentu disebabkan oleh karena isi dibuang dan kulit yang diambil, dan terus menimbun kulit itu di atas isi sehingga akhirnya mustahil sekali orang akan dapat melihat isi atau akan menembusi timbunan kulit itu.

Apa yang telah menjadi pokok perdebatan kaum Nasrani Syam, lain lagi dengan yang menjadi perdebatan kaum Nasrani di Hira dan Abisinia. Dan orang-orang Yahudipun, melihat hubungannya dengan orang-orang Nasrani, tidak akan berusaha mengurangi atau menenteramkan perdebatan semacam itu. Oleh karena itu sudah wajar pula orang-orang Arab yang berhubungan dengan kaum Nasrani Syam dan Yaman dalam perjalanan mereka pada musim dingin atau musim panas atau dengan orang-orang Nasrani yang datang dari Abisinia, tetap tidak akan sudi memihak salah satu di antara golongan-golongan itu. Mereka sudah puas dengan kehidupan agama berhala yang ada pada mereka sejak mereka dilahirkan, mengikuti cara hidup nenek-moyang mereka.

Oleh karena itu, kehidupan menyembah berhala itu tetap subur di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian inipun sampai kepada tetangga-tetangga mereka yang beragama Kristen di Najran dan agama Yahudi di Yathrib, yang pada mulanya memberikan kelonggaran kepada mereka, kemudian turut menerimanya. Hubungan mereka dengan orang-orang Arab yang menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Tuhan itu baik-baik saja.

Yang menyebabkan orang-orang Arab itu tetap bertahan pada paganismanya bukan saja karena ada pertentangan di antara golongan-golongan Kristen. Kepercayaan paganisma itu masih tetap hidup di kalangan bangsa-bangsa yang sudah menerima ajaran Kristen. Paganisma Mesir dan Yunani masih tetap berpengaruh ditengah-tengah pelbagai mazhab yang beraneka macam dan di antara pelbagai sekta-sekta Kristen sendiri. Aliran Alexandria dan filsafat Alexandria masih tetap berpengaruh, meskipun sudah banyak berkurang dibandingkan dengan masa Ptolemies dan masa permulaan agama Masehi. Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap merasuk ke dalam hati mereka. Logikanya yang tampak cemerlang sekalipun pada dasarnya masih bersifat sofistik - dapat juga menarik kepercayaan paganisma yang polytheistik, yang dengan kecintaannya itu dapat didekatkan kepada kekuasaan manusia. 

Saya kira inilah yang lebih kuat mengikat jiwa yang masih lemah itu pada paganisma, dalam setiap zaman, sampai saat kita sekarang ini. Jiwa yang lemah itu tidak sanggup mencapai tingkat yang lebih tinggi, jiwa yang akan menghubungkannya pada semesta alam sehingga ia dapat memahami adanya kesatuan yang menjelma dalam segala yang lebih tinggi, yang sublim dari semua yang ada dalam wujud ini, menjelma dalam Wujud Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan demikian itu hanya sampai pada suatu manifestasi alam saja seperti matahari, bulan atau api misalnya. Lalu tak berdaya lagi mencapai segala yang lebih tinggi, yang akan memperlihatkan adanya manifestasi alam dalam kesatuannya itu.

Bagi jiwa yang lemah ini cukup hanya dengan berhala saja. Ia akan membawa gambaran yang masih kabur dan rendah tentang pengertian wujud dan kesatuannya. Dalam hubungannya dengan berhala itu lalu dilengkapi lagi dengan segala gambaran kudus, yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan di seluruh dunia, sekalipun dunia yang mendakwakan dirinya modern dalam ilmu pengetahuan dan sudah maju pula dalam peradaban. Misalnya mereka yang pernah berziarah ke gereja Santa Petrus di Roma, mereka melihat kaki patung Santa Petrus yang didirikan di tempat itu sudah bergurat-gurat karena diciumi oleh penganut-penganutnya, sehingga setiap waktu terpaksa gereja memperbaiki kembali mana-mana yang rusak.

Melihat semua itu kita dapat memaklumi. Mereka belum nmendapat petunjuk Tuhan kepada iman yang sebenarnya Mereka melihat pertentangan-pertentangan kaum Kristen yang menjadi tetangga mereka serta cara-cara hidup paganisma yang masih ada pada mereka, di tengah-tengah mereka sendiri yang masih menyembah berhala itu sebagai warisan dari nenek-moyang mereka. Betapa kita tak akan memaafkan mereka. Situasi demikian ini sudah begitu berakar di seluruh dunia, tak putus-putusnya sampai saat ini, dan saya kira memang tidak akan pernah berakhir. Kaum Muslimin dewasa inipun membiarkan paganisma itu dalam agama mereka, agama yang datang hendak menghapus paganisma, yang datang hendak menghilangkan segala penyembahan kepada siapa saja selain kepada Allah Yang Maha Esa.

Cara-cara penyembahan berhala orang-orang Arab dahulu itu banyak sekali macamnya. Bagi kita yang mengadakan penyelidikan dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui seluk-beluknya. Nabi sendiri telah menghancurkan berhala-berhala itu dan menganjurkan para sahabat menghancurkannya di mana saja adanya. Kaum Muslimin sudah tidak lagi bicara tentang itu sesudah semua yang berhubungan dengan pengaruh itu dalam sejarah dan lektur dihilangkan. Tetapi apa yang disebutkan dalam Quran dan yang dibawa oleh ahli-ahli sejarah dalam abad kedua Hijrah - sesudah kaum Muslimin tidak lagi akan tergoda karenanya - menunjukkan, bahwa sebelum Islam paganisma dalam bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat yang tinggi.

Di samping itu menunjukkan pula bahwa kekudusan berhala-berhala itu bertingkat-tingkat adanya. Setiap kabilah atau suku mempunyai patung sendiri sebagai pusat penyembahan. Sesembahan-sesembahan zaman jahiliah inipun berbeda-beda pula antara sebutan shanam (patung), wathan (berhala) dan nushub. Shanam ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau kayu, Wathan demikian juga dibuat dari batu, sedang nushub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Mereka beranggapan batu karang itu berasal dari langit meskipun agaknya itu adalah batu kawah atau yang serupa itu. Di antara berhala-berhala yang baik buatannya agaknya yang berasal dari Yaman. Hal ini tidak mengherankan. Kemajuan peradaban mereka tidak dikenal di Hijaz, Najd atau di Kinda. Sayang sekali, buku-buku tentang berhala ini tidak melukiskan secara terperinci bentuk-bentuk berhala itu, kecuali tentang Hubal yang dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia, dan bahwa lengannya pernah rusak dan oleh orang-orang Quraisy diganti dengan lengan dari emas. Hubal ini ialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu.

Tidak cukup dengan berhala-berhala besar itu saja buat orang-orang Arab guna menyampaikan sembahyang dan memberikan kurban-kurban, tetapi kebanyakan mereka itu mempunyai pula patung-patung dan berhala-berhala dalam rumah masing-masing. Mereka mengelilingi patungnya itu ketika akan keluar atau sesudah kembali pulang, dan dibawanya pula dalam perjalanan bila patung itu mengijinkan ia bepergian. Semua patung itu, baik yang ada dalam Ka’bah atau yang ada disekelilingnya, begitu juga yang ada di semua penjuru negeri Arab atau kabilah-kabilah dianggap sebagai perantara antara penganutnya dengan dewa besar. Mereka beranggapan penyembahannya kepada dewa-dewa itu sebagai pendekatan kepada Tuhan dan menyembah kepada Tuhan sudah mereka lupakan karena telah menyembah berhala-berhala itu.
Meskipun Yaman mempunyai peradaban yang paling tinggi di antara seluruh jazirah Arab, yang disebabkan oleh kesuburan negerinya serta pengaturan pengairannya yang baik, namun ia tidak menjadi pusat perhatian negeri-negeri sahara yang terbentang luas itu, juga tidak menjadi pusat keagamaan mereka. Tetapi yang menjadi pusat adalah Mekah dengan Ka’bah sebagai rumah Ismail. Ke tempat itu orang berkunjung dan ke tempat itu pula orang melepaskan pandang. Bulan-bulan suci sangat dipelihara melebihi tempat lain.

Oleh karena itu, dan sebagai markas perdagangan jazirah Arab yang istimewa, Mekah dianggap sebagai ibukota seluruh jazirah. Kemudian takdirpun menghendaki pula ia menjadi tanah kelahiran Nabi Muhammad, dan dengan demikian ia menjadi sasaran pandangan dunia sepanjang zaman. Ka’bah tetap disucikan dan suku Quraisy masih menempati kedudukan yang tinggi, sekalipun mereka semua tetap sebagai orang-orang Badwi yang kasar sejak berabad-abad lamanya.
sumber: pustaka online MEDIAISNET

1:42:00 PM 3

GENERATE PREFILL / General Prefill...? yah tentu anda tidak asing denga kalimat tersebut apa lagi kalo shobat adalah Operator sekolah. Itulah yang harus di lakukan apa bila Aplikasi Dapodikdas yang ada di Laptop anda mengalami masalah yang tidak bisa di lakukan dengan me restore data backupan. Kalau dahulu yang bisa melakukan hanya Operator Pusat, Operator Dinas Kabupaten serta beberapa Operator yang di percaya dan di tunjuk untuk melakukan generate prefill , kini Operator sekolah pun asalkan punya sedikit pengetahuan dan keberanian di dunia Online, maka dia akan bisa secara mandiri melakukanaya. Akan tetapi bila anda ragu, sebaiknya  anda menyerahkanya kembali dengan meminta bantuan kepada Operator Dinas Kabupaten serta yang di tunjuk.

Pertimbagan awal kemungkinan dahulu tidak di sebar info ini, mengingat mungkin Kemampuan Operator Sekolah di nilai beberapa Pihak belum punya Kompetensi mengingat Operator sekolah memang pada awalnya tidak Pernah di didik secara khusus menangani hal tsb, atau mungkin Pengembang menghawatirkan data kita yang sudah di kerjakan akan mengalami masalah. Ini memang wajar di lakaukan karena kalo sampai bermasalah, maka akan repot semuanya.
OpS hanyalah seorang yang Digaji secara sukarela dibawah 200 ribu bahkan 100 ribu perbulan yang di pekerjakan untuk mengolah data yang padahal sebenarnya data tersebut adalah data fital dari sebuah Instansi/Lembaga. Kenapa saya katakan vital.? karena di dalam aplikasi tsb ternyata memuat data rinci sekolah, data siswa bahkan data Pribadi Guru secara keseluruhan. Ok itu hanya Perkiraan Lho...!

Kembali ke topik Bahasan...!
MASUK ke alamta yang telah di tentukan Pengembang Dapodik
setelah masuk akan di bawa di mari
  1. Pilih media atau sarana apa yang ingin di pergunakan dengan mengklik segi 3 hitam, maka akan ada 2 tab muncul di bawahnya,
  2. apa bla anda menggunakan NPSN maka tinggal arahkan Kursor anda di NPSN atau 
  3. Anda adalah Operatornya sekolah tsb yang mengetahui kode registrasinya...?mak bisa memilik KODE REGISTRASI seperti gambar di atas.
  4. PERHATIKAN  nomer 4 itu adalah tombol exekutornya.... nanti di lakukan setelah anda memilih  gambar no.2 atau no.3
    Next---------->>
  1. Berhubung tadi saya memilih Media NPSN maka akan saya tuliskan NPSN yang akan saya kerjakan maka saya tuliskan di tab Kode, bila anda tadi memilih media Kode registrasi, maka tuliskan Kode registrasi Aplikasi anda pada Tab Kode tsb. (Perhatikan Gambar dan panah merah).
  2. Setelah selesai input tab Kode, maka lakukan execusi dengan mengklik Tombol GENERATE
    Next----------->>
  1. INILAH saatnya kita menunggu hasil Generate yang kita lakukan, Perhatikan Panah Merah, itu sebenarnya sudah di akir langkah yang saya shot, jadi seperti gambar itulah gambar dan keteranganya.
  2. Next------------->>
Ini tandanya kita telah berhasil melakukan Gereal Prefill ....! Mudah kan...? Setelah itu silahkan anda cek data apa saja yang berhasil anda generate di data best Dapodik,
  1. Pada Panah Nomer 2 menunjukan Keterangan Tentang Generate Prefill
  2. Pada Gambar Nomer 3 adalah data yang saya maksudkan yang bisa di cek, kira kira data apa saja yang di perbaharui. Cek sampai bawah karena banyak item yang di perbaharui.
  3. Kemudian apa ini selesai...? yah selesai untuk generate prefillnya, 
  4. Dounloadlah prefill anda dengan Klik Pada Gambar nomer 4
  5. Prefil yang di unduh
  6. Buka pada segitiga persisi seperti pada Panah Nomer 6
  7. Buka Folder, dan di sanalah Hasil Prefil anda, Silahkan Anda Copy dan Pastekan Ke Drive C:/prefill_dapodik.
Browser yang saya Gunakan Adalah google chroom.
Demikian yang dapat saya shere, Kalo ada kata serta sesuatu hal yang kurang berkenan saya mohon maaf.
Semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita.
Salam satu Data.

11:23:00 AM 2

Seorang cadel ingin membeli nasi goreng yang sering mangkal di dekat rumahnya. 
Cadel:"bang, beli nasi goleng satu.

Abang:"apa...?" (.....ngeledek.) 

Cadel:"Nasi Goleng!
Abang:"Apaan...?(.....Ngeledek lagi.)
Cadel:"Nasi Goleng!!!"
Abang:"ohh nasi goleng..." Sambil ditertawakan oleh pembeli yang lain dan pulanglah si cadel dengan sangat kesal. Sesampainya di rumah dia bertekad untuk berlatih mengucapkan "nasi goreng" dengan benar. Hingga akhirnya dia mampu mengucapkan dengan baik dan benar
Hari ke-2. 
Dengan perasaan bangga, si cadel ingin menunjukkan bahwa dia bisa mengucapkan pesanan dengan tidak cadel lagi
Cadel:"bang...,saya mau beli NASI GORENG, bungkus!!!"
Abang:"ohh...pake apa?"
Cadel:"...pake telol..." Sambil sedih...
Akhirnya kembali dia berlatih mengucapkan kata "telor" sampai benar.
Hari ke-3.
Untuk menunjukkan bahwa dia mampu, dia rela 3 hari berturut - turut makan nasi goreng:
Cadel:"bang..., beli NASI GORENG, Pake TELOR!!! Bungkus!"
Abang:"ceplok atau dadar ?"
Cadel:"dadal..."
Dengan spontan.Kembali dia berlatih dengan keras.
Hari ke-4. 
Dengan modal 4 hari berlatih lidah hari ini dia yakin mampu memesan dengan tanpa ditertawakan.
Cadel:"bang...,beli NASI GORENG, Pake TELOR, di DADAR!"
Abang:"hebat kamu "del, udah nggak cadel lagi nich, harganya Rp.2500 del."
si cadel menyerahkan uang Rp.3000 kepada si abang, namun si abang tidak memberikan kembaliannya, hingga si cadel bertanya:
Cadel: "bang.., kembaliannya?"
Abang: "oh iya, uang kamu Rp.3000, harganya Rp.2500, kembalinya berapa del?" sambil senyum ngeledek. Si cadel gugup juga untuk menjawabnya, dia membayangkan besok bakal makan nasi goreng lagi.
Tapi akhirnya dia menjawab:"...GOPEK!" Sambil tersenyum penuh kemenangan.
Cerita ini hanya sebagai hiburan serta Inspiratif, jika kebetulan ada kesamaan nama, Tempat dan Profesi itu hanya kebetulan semata.
Sumber : Ibiza Monarchi

MKRdezign

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget